Monday, March 25, 2013

Sistem Pengetahuan

Sistem Pengetahuan
Melalui sistem pengetahuan, manusia mampu beradaptasi untuk menyesuaikan hidupnya dengan alam sekitarnya dan juga manusia mampu meningkatkan produktivitas kebutuhan hidupnya, misalnya meningkatkan produktivitas di bidang perburuan, penangkapan ikan, peternakan, dan pertanian.
Khusus untuk gayo Lues yang terletak di daerah pegunungan berhutan lebat mempunyai kekayaan sendiri berupa binatang hutan, baik yang dapat dimakan atau tidak seperti rusa, kijang, badak, gajah, mawas dan lain-lain. Dari semua binatang itu yang paling disenter manusia adalah rusa dan kijang. Kedua jenis binatang ini sering diburu, sangat disukai orang dagingnya. Namun sistem perburuan sejak zaman dulu masih memakai sistem yang sama, atau konvensional, yaitu dengan memakai jasa anjing. Kepala perburuan disebut pawang, seorang yang ahli dalam mencari tempat rusa, dapat menjinakkan rusa dalam arti rusa tidak akan berlari jauh, rusa lari hanya di sekitar radius yang telah ditentukan pawang. Sebelum berburu, pawang terlebih dahulu membacakan beberapa mantera, dan kepada orang yang ikut berburu diberikan beberapa syarat misalnya tidak boleh takabur, tidak boleh membunuh binatang yang tidak diburu. Kalau yang diburu rusa, lalu berjumpa dengan kijang, atau kancil, atau babi, maka binatang ini dibiarkan saja, tidak boleh dibunuh. Jumlah anjing pemburu, biasanya + 10 ekor dan seekor ditunjuk oleh pawang sebagai ketua.
Kalau misalnya, pawang menyakini di suatu tempat ada binatang buruan, maka dia memerintahkan anjing mencium bau binatang buruan di tanah. Anjing tahu di mana rusa berada, dan pawang memerintahkan anjing-anjing mengejar rusa. Dalam tempo beberapa jam biasanya rusa dapat ditangkap.
Daging rusa dibagi kepada orang yang ikut berburu, dengan syarat orang yang pertama kali menombak rusa tersebut dapat sebuah paha. Kepala rusa diberikan kepada pawang dan hati diberikan kepada anjing-anjing yang ikut berburu.
Satu syarat dalam pembagian daging buruan adalah siapapun orang yang tak ikut berburu tapi ikut melihat rusa yang dikejar, harus dapat bagian daging. Syarat lainnya, kalau boleh daging tidak diperjualbelikan.
Sistem pengetahuan ini dapat digolongkan sebagai berikut :
a.Dalam Bidang Penangkapan Ikan
Daerah Gayo Lues terletak di pegunungan. Ini artinya bahwa di pegunungan sungai kecil-kecil, karena hanya berupa hulu dari sungai yang besar-besar.
Daerah Gayo Lues adalah hulu sungai Tripe, inilah satu-satunya sungai yang agak besar di daerah ini. Karena itu penangkapan ikan tidak berkembang di daerah ini. Dapat dikatakan ikan hanya ditangkap dengan alat yang sama dari masa-ke masa, yaitu dengan jala, pancing. Ada juga penangkapan ikan dengan alat lain seperti tangguk, tapi hanya kecil-kecilan. Jenis ikan di daerah Gayo Lues juga terbatas seperti gegaring, denung, bado, ikan mas, maut dan lain-lain. Sekarang ini banyak orang membuat kolam dengan memelihara ikan mas, maut dan mujahir. Pokoknya dalam bidang perikanan belum memakai alat tangkap yang mutakhir/modern.
b.Dalam Bidang Peternakan
Daerah pegunungan yang dingin, biasanya tanah miring, dengan kemiringan sampai 45ยบ. Tanah yang landai, rata, sangat kurang jumlahnya. Ini berarti lapangan tempat hewan mencari makan cukup luas karena daerah tersebut tak dapat dipergunakan untuk pertanian. Karena luasnya daerah tempat hewan cari makan, maka pada umumnya hewan dilepas saja, suruh cari makan sendiri, tanpa digembala. Orang kadang-kadang hanya melihat kerbaunya sebulan sekali. Memang benar ada juga yang mengadangkan lembu, kambing, domba, dan lain-lain, tapi jumlahnya sangat sedikit. Dengan membiarkan hewan itu saja dia gemuk-gemuk untuk apa susah-susah mencari makanannya, dan mengandangkannya. Boleh dikatakan teknologi untuk meningkatkan hasil ternak masih belum ada, masih memakai teori lama. Hasil yang dapat diharapkan dari bidang ini hanya dari hasil penjualan kerbau dan lembu, sedangkan kambing, biri-biri hanya untuk keperluan sendiri.
c.Dalam Bidang Pertanian
Pertanian yang diandalkan di daerah ini hanya sawah dan ladang. Boleh dikatakan sawah tidak mencukupi. Maklumlah penduduk semakin bertambah, sedangkan areal persawahan masih tetap. Akibatnya timbul masalah tetap tinggal di daerah ini, dengan ketentuan siap menghadapi kelaparan, atau pindah ke daerah lain yang areal persawahannya luas. Pada umumnya orang memilih pilihan kedua. Daerah yang dipilih adalah Aceh Tengah, Bener Meriah, Aceh Tenggara, Aceh Timur, dan Tamiang.
Pengolahan sawah dapat diuraikan sebagai berikut :
Pada umumnya sawah berpaya, tumbuh rumput tinggi. Untuk ini mula-mula dikerahkan beberapa ekor kerbau ke sawah ini. Kerbau-kerbau ini diusahakan berkeliing petak sawah pada pagi hari kira-kira 2 jam. Dalam bahasa Gayo Lues disebut nlajang. Pekerjaan mengusir kerbau di petak sawah, disebut ngoro. Bila tanah sudah lumat, maka barulah manusia turun menata sawah untuk siap ditanami. Pengolahan tanah biasa dilakukan dengan memakai cangkul.
Kalau perlu urutan pengerjaan sawah di Gayo Lues kita urutkan sebagai berikut :
Sawah yang rumputnya tinggi-tinggi, maka langkah pertama nlajang.
Sawah yang rumputnya tidak tinggi, maka langkah pertama mencangkul.
Langkah berikutnya nerlis,membersihkan pematang.
Mencangkul kedua kalinya,
Ngoro lagi
Mematal/memperbaharui pematang
Memerjak    menginjak-injak tanah supaya lumat.
Murulah        meratakan tanah.
Menanam padi    Munomang
Muruah        menyiangi rumput
Membersihkan pematang
Memeo        mengusir burung.
Munuling    memotong padi.
Meminuh        mengumpulkan padi.
Njik        merontokkan padi.
Munangin    mengangin padi biar bersih
Mutuyuh        membawa padi ke umah/rumah
d.Dalam Bidang Perkebunan
Perkebunan belum menggembirakan hasilnya masih belum dikelola dengan baik. Tanaman perkebunan yang utama adalah kopi, dan tembakau. Dari kedua tanaman ini tembakaulah yang banyak membantu ekonomi rakyat. Hasilnya dijual ke luar daerah terutama ke Aceh Barat-Selatan, dan ke Sumatera Utara.
Akhir-akhir ini memang pemerintah sangat mengalakkan perkebunan ini dengan membantu bibit dan biaya pengolahan. Tanaman yang digalakkan adalah kopi, coklat, dan pisang. Namun hasilnya tentu belum kelihatan.
e.Dalam Bidang Perdagangan
Mungkin, sekali lagi mungkin, karena modal kurang pada awalnya, maka orang gayo Lues tidak banyak terjun ke dunia perdagangan. Dari dahulu perdagangan di Gayo Lues, dimonopoli oleh pendatang. Warung misalnya, bertebaran di kota Blangkejeren, tetapi tidak satupun kepunyaan orang Gayo Lues. Hampir seluruhnya dikuasai       “ urang awak ”. warung yang menjual mie dan martabak dikuasai oleh “ awak geutanyo ”, toko emas dikuasai oleh “ halak kita ”. Ketiga pendatang ini yang mengatur dan menguasai perdagangan daerah Gayo Lues. Namun demikian, akhir-akhir ini anak negeri mulai bergerak di bidang perdagangan kecil-kecil, seperti tokeh kerbau, lembu, dan barang kelontong.

Alat Transportasi

Alat Transportasi
Alat Transportasi
Lumpรฉ    = untuk menghubungkan antara suatu tempat di seberang sungai, dibuat sebuah alat yang disebut lumpรฉ. Lumpรฉ adalah rentangan dua utas tali dari dua tempat seberang menyeberang sungai. Dibuat dari dua rentangan tali rotan yang kuat, diatur sedemikian rupa sehingga orang dapat menyeberang dari satu tepi ke tepi lain.
Penyeimbang, agar tali jangan lari, bambu panjang diikat dan langsung kena ke sungai.
Sekarang titi/lumpรฉ ini sudah menggunakan tali besi/kawat.
Jangkat    =Alat yang dibuat dari kulit kayu yang kenyal, kuat untuk mengangkat dan atau mengangkut kayu api dan atau padi, atau beras. Jangkat ini dapat dibayangkan seperti ransel tentara, atau ransel pramuka, dan juga sekarang banyak dipakai petualang. Pemakaiannya mudah dan praktis.
Amung    =Alat yang dibuat jalinan rotan yang sudah diolah rapi/diraut atau bambu yang sudah diraut juga. Bentuknya seperti keranjang. Ke dalam amung ini dimasukkan barang yang akan diangkat ke tempat jauh.
Jujung    =Benda yang akan diangkat diletakkan di atas kepala, seperti padi di dalam karung. Bahasa Indonesianya junjung. Benda-benda panjang dan licin, seperti bambu, jarang dijunjung.
Arang    =Benda di letakkan di atas pundak, benda yang biasa diarang adalah benda yang panjang, seperti bambu, kayu api dan lain-lain.
Jelnang    =Biasanya anak-anak yang berumur 3 – 5 tahun diletakkan di atas pundak. Si anak memegang kepala bapaknya dalam perjalanannya yang agak jauh. Kaum ibu jarang menggunakan alat jelnang ini.
Temeng    =Mengangkut barang dengan satu tangan saja, misalnya mengangkut keranjang dan lain-lain.
d.Alat penangkap ikan, adalah :
Jele
Cerkap
Durung
Kik
Jao
Tangil
dan lain-lain
e.Alat penangkap burung, adalah :
Jaring
Jangki
Ontang
dan lain-lain
f.Alat berburu, adalah :
Jaring
Kunyur
dan lain-lain

Keben dan Manah

Keben dan Manah
Keben dan Manah
Di atas sudah diuraikan tentang bagunan orang Gayo yaitu rumah. Selain dari itu masih ada lagi bagunan seperti keben dan manah.
Keben, bangunan terbuat dari tepas, dan atau bukit kayu besar, bentuknya pas seperti silinder besar, dengan garis tengah kira-kira 1 ½ meter, tinggi 2 – 2 ½ meter. Gunanya untuk menyimpan padi, letaknya di atas rumah, atau di samping rumah.
Manah, bangunan menyerupai rumah kecil, dengan ukuran 3 – 4 meter, dan tinggi 2 – 3 meter. Di atas ada loteng, tempat pemuda tidur malam. Bangunan ini tidak punya tingkep (jendela), dan sebelah pinggir adalah pintu kecil untuk memasukkan/mengeluarkan padi. Pintu ini berukuran ½ x 1 meter. Manah tempat padi orang kaya, sedangkan keben tempat padi orang miskin. Letak manah di luar rumah dan tidak dijaga, hanya mengandalkan kunci saja.

Rumah Orang Gayo

Rumah Orang Gayo
Rumah Orang Gayo
Rumah pada umumnya didirikan untuk 6 - 7 keluarga. Rumah untuk perseorangan atau perkeluarga tidak boleh didirikan, Tinggi rumah + 2 – 3 meter dari atas tanah. Untuk mendirikan rumah diserahkan kepada tukang yang disebut utus. Alat utus yang utama adalah beliung, cekeh, gergaji, pat/pahat dan lain-lain. Bagian rumah yang terpenting adalah tรฉtรฉ (lantai), rering (dinding), dan supu (atap). Semula semua bahan dibuat sedemikian tanpa paku, besi, tapi memakai paku yang dibuat dari bambu yang cukup tua, tapi kemudian memakai paku biasa. Lantai atau dinding mula-mula terbuat dari bambu atau temor yang dijalin.
Umah (rumah) didirikan dari suyen (tiang) yang dibuat dari kayu hutan atau dari damar. Letak rumah biasa membujur dari timur ke barat dan letak kite/tangga biasa dari arah timur atau utara. Rumah yang letaknya timur – barat disebut bujur dan utara – selatan disebut lintang. Di luar bujur – lintang disebut sirung – gunting. Ruang dekat tangga disebut ralik, dan yang terjauh dari tangga disebut ujung dan yang di tenggah disebut lah.
Umah orang Gayo, dibuat memanjang, disebut umah pitu ruang (rumah 7 bilik/kamar). Enam bilik dihuni masing-masing satu KK, dan satu bilik adalah lepo/beranda, tidak dihuni, tapi tempat tamu, enam bilik tambah satu lepo/beranda, dijumlahkan menjadi 7 (tujuh), karena itu rumah tersebut, tetap disebut UMAH PITU RUANG/BILIK.
Timbul pertanyaan, kalau ada 6 KK yang mendirikan umah pitu ruang, siapa yang menempati bilik ralik, bilik lah, bilik ujung dan 3 bilik lainnya ?. bilik ralik paling disukai, dekat dengan tangga, dan sebaliknya bilik ujung adalah bilik yang paling tidak disukai.

Rupanya orang tua dulu punya cara sendiri, sebagai berikut :
Kalau hendak mendirikan umah pitu ruang, diawali dengan sebuah upacara penyerahan alat kepada utus. Utus lalu meminta agar calon penghuni rumah duduk melingkar di hadapannya. Lalu utus meminta agar tiang utama diletakkan di antara dia dan calon penghuni rumah. Tiang utama ini akan dipahat pertama kali di hadapan calon. Sela pertama harus diperhatikan, kemana jatuhnya. Ini penting sebab calon yang kena jatuhnya sela ini berhak mendapat bilik ralik dan seterusnya, penentuan penghuni bilik-bilik yang lain adalah dengan musyawarah berdasarkan jatuhnya sela pertama tadi.
Kalau sela tidak jatuh kepada 6 calon penghuni, misalnya jatuh kepada penonton, maka calon, harus menebus sela ini dengan tebusan :
Kain putih,    1 pinggang (+ 2 meter)
Beras,        1 bambu
Cincin emas,    1 bentuk
Jarum penjahit,    1 (satu)
dan urutan penghuni ruang ditentukan oleh utus dan jema opat yang dihormati dan dasar mereka adalah bilik ralik dihuni oleh orang/keluarga yang paling banyak anaknya, dan seterusnya, bilik ujung dihuni oleh keluarga yang anaknya paling sedikit. Pada umumnya putusan jema opat tidak pernah diprotes oleh calon penghuni, sebab jema opat dan utus orang yang dihormati.
Bila penduduk bertambah, maka rumah didirikan lagi dengan cara pertama tadi. Hanya saja diusahakan satu kampung hanya ada 5 – 6 umah pitu ruang. Kalau penduduk bertambah lagi tidak ada masalah, dirikan kampung lagi.

Bagian-bagian umah pitu ruang
Kita naik dari kitรฉ/tangga, masuk ke lepo. Di sebelah kiri lepo disebut serami rawan, sebelah kanan, serami benen. Ruangan sudut rumah di bagian ralik serami benen disebut anyung Lepo dan anyung lantainya sama tinggi. Bilik ditinggikan lantainya kira-kira 2 anak tangga dan punya pintu ke ruangan benen. Dinding ke ruangan rawan tertutup sama sekali. Antara lepo dan serami benen ada pintu yang hanya ditutup pada malam hari.
Bilik-bilik inilah yang digunakan keluarga bersama anaknya yang masih kecil (ukuran kecil, kalau laki-laki belum sunat) sebagai kamar tidur, menyimpan barang-barang berharga seperti kain, alat tenun dan lain-lain. Barang pecah belah disimpan di atas loteng yang disebut parabuang, sedangkan barang pecah belah yang dipakai sehari-hari disimpan di tempat piring yang disebut salangan di luar bilik. Tikar-tikar digulung dan diikat rapi dan digantung di dinding bilik yang dinamakan santon. Pada malam hari dapur dihidupkan untuk memanaskan badan dan sebagai alat penerangan dibakar uyem (damar). Sedangkan siang hari dapur digunakan untuk memasak. Mereka biasa makan 2 x sehari, kira-kira pukul 08.00 dan pukul 16.00. bilik-bilik penyimpanan barang-barang tadi disebut umah rinang atau atas rinung. Jalan dari ujung ke ujung sebelah dinding bilik disebut duru, sedangkan tempat dekat dinding luar disebut uken, yaitu tempat menerima tamu dan makan bersama.
Atap rumah dibuat dari sangรฉ (pimping) yang diolah rapi dengan menyemat/mengayamnya pada sebuah kayu yang kuat, yang disebut bengkon. Jarang sekali rumah Gayo Lues yang beratap ijuk atau yang lain.

Tuesday, March 19, 2013

Sistem Tindakan Sistem Nilai Budaya Masyarakat Gayo Lues

Sistem Tindakan Sistem Nilai Budaya Masyarakat Gayo Lues
Sistem Tindakan Sistem Nilai Budaya Masyarakat Gayo Lues
Budaya dalam bentuk ini bersifat konkrit, dapat dilihat dan dapat difoto. Misalnya petani bekerja di sawah, karyawan bekerja di pabrik serta pelajar belajar di sekolah dan sebagainya.
Di Gayo Lues pada khususnya dan Gayo keseluruhan pada umumnya, pekerjaan menentukan orang, atau lebih tepat pekerjaan berdasarkan jenis kelamin. Setiap pekerjaan telah dibagi antara pekerjaan laki-laki dan pekerjaan perempuan. Pembagian bersifat mutlak, artinya suatu pekerjaan untuk laki-laki, tidak boleh dikerjakan oleh perempuan dan sebaliknya. Bila terjadi juga penyimpangan, pekerjaan laki-laki dikerjakan oleh perempuan, atau pekerjaan perempuan dikerjakan laki-laki, pasti mendapat ejekan, tertawaan, cacian, dan atau keprihatinan. Lalu para petua adat atau orang-orang dewasa menelusuri apa sebab musababnya, apakah masuk akal atau tidak. Setelah diselidiki ternyata benar, karena terpaksa, maka petua adat mencari jalan keluar yang terbaik, dan mengumumkan kepada publik sehingga publik maklum dan membantu mengatasi hal tersebut secara bersama.
Pekerjaan yang berat-berat adalah pekerjaan laki-laki dan sebaliknya pekerjaan yang ringan-ringan adalah pekerjaan perempuan.
Kita ambil contoh :
Pekerjaan bersawah.
Pekerjaan laki-laki adalah :
-mencangkul, membersihkan parit, membersihkan pematang, melumatkan tanah, meratakan tanah, menggirik padi, mengangkut padi ke rumah, dan lain-lain.
Pekerjaan perempuan adalah :
-menanam padi, merumput, menyabit, mengangin, dan lain-lain yang   ringan-ringan.
Di luar pekerjaan yang utama di sawah tadi,
Tugas laki-laki adalah :
-menebang ladang, membersihkan ladang, menanam ladang, memelihara hewan, membuat rumah, menganyam atap.
Tugas perempuan adalah :
-urusan masak- memasak, mencari kayu bakar, anyam-menganyam tikar, mengambil air ke sungai, berbelanja ke pasar, menyapu rumah, pokoknya urusan rumah tangga, mengurus anak kecil dan lain-lain.
Tugas bersama, artinya boleh dikerjakan laki-laki dan atau perempuan misalnya menjahit, mengendong anak kalau berjalan jauh, dan yang dianggap patut, misalnya mengurung ayam atau membelah kayu bakar dan lain-lain.
Kalau ada yang mengerjakan tugas yang bukan tugasnya tentu sangat dibenci orang, diejek, bahkan disisihkan dalam pergaulan. Tidak boleh laki-laki memasak, tidak boleh laki-laki belanja ke pasar, tidak boleh laki-laki mencari kayu bakar, tidak boleh laki-laki menanam padi dan lain-lain. Sebaliknya tidak boleh perempuan, menambat lembu, tidak boleh perempuan mencangkul, tidak boleh perempuan menggirik padi, tidak boleh perempuan menganyam atap, tidak boleh perempuan menjala ikan.
Nah kalau terjadi pelanggaran, bagaimana ?
Mula-mula si pelaku ditegor, “ Hai mengapa kamu mencangkul di sawah, padahal suamimu ada ? Mengapa kamu memasak padahal istrimu ada ?”. Bila keadaan demikian maka orang menyelidiki sebab musababnya. Si ibu mencangkul di sawah, karena suaminya sakit keras di rumah sakit. Si bapak memasak karena istrinya pergi ke Kutapanjang, sedangkan anaknya yang masih kecil-kecil mau makan dan belum bisa memasak.
Kalau penyebabnya masuk akal, persoalan tersebut tidak dipermasalahkan, dan tidak boleh dibiarkan berlanjut, harus ditanggulangi. Caranya, kalau misalnya ibu yang mencangkul di sawah tadi seorang janda, anak laki-laki tak ada, maka pemuda kampung harus turun tangan mencangkul sawah si janda sampai selesai tanpa pamrih, tanpa bayaran, tanpa minta makan dan atau minum kepada si janda. Bagaimana kalau pemuda tidak mau mengingat janda ini pelit, suka memarahi pemuda, maka orang-orang tua akan memarahi dan memaksa pemuda membantu dan kalau tidak juga maka orang-orang tua akan membantu si janda ini. Kalau sudah begini keadaannya, si pemuda kampung akan menanggung malu, diejek oleh pemuda kampung lain dan dicap “ merke “ pemalas. Ujung-ujungnya gadis dari kampung lain tidak mau kawin dengan si pemuda model ini. Bagaimana kalau bapak yang memasak tadi karena istrinya sudah meninggal, anak-anak masih kecil-kecil ?. Pemudi kampung harus membantu memasak nasi bapak ini dalam batas waktu satu bulan. Di samping itu orang-orang tua kampung, baik ibu-ibu atau bapak-bapak berusaha mencari istri bapak ini ke kampung lain. Bagaimana kalau dalam tempo sebulan belum juga dapat istri, maka tugas pemudi kampung dianggap sudah selesai. Pemudi lepas dari tanggung jawab membantu. Pemudi tidak dapat dipersalahkan lagi. Kerja masak-memasak, cuci piring dan lain-lain diserahkan kepada famili terdekat.
Yang kita ceritakan di atas adalah keadaan zaman dulu kelihatannya karena pengaruh pergaulan dan perubahan zaman keadaan tersebut mengalami erosi, mengalami perubahan yang nyata dan orang tidak ambil pusing lagi untuk tugas-tugas yang ringan. Orang laki-laki sudah ada yang berani berbelanja ke pasar. Orang laki-laki sudah ada yang berani mencuci pakaian anak-anaknya, orang laki-laki sudah ada yang berani mengangkat beras dari pasar dan lain-lain. Juga sebaliknya perempuan sudah ada yang mencangkul di sawah, perempuan sudah berani menggembala lembu atau kambing dan lain-lain. Para pelaku pelanggaran ini adalah orang yang sudah pernah merantau ke luar daerah. Di daerah lain dilihatnya lain dari di daerah ini. Dilihatnya di Aceh pesisir, laki-laki berbelanja ke pasar, laki-laki memasak, membuat mie, memasak martabak. Dilihatnya yang mencuci di sungai ada juga laki-laki, dan di banyak daerah dilihatnya laki-laki dan perempuan mencangkul di sawah, di ladang dan lain-lain. Pengalaman ini sebagian ada yang diterapkan di daerah ini, sungguhpun masih mendapat tantangan dari masyarakat.
“ Tak malu, laki-laki beli ikan di pasar, tak malu laki-laki beli sayur. Tidak malu perempuan beli parang, tidak malu perempuan beli cangkul dan lain-lain “.

Hubungan Alam dan Tingkah Laku Masyarakat Lues

Hubungan Alam dan Tingkah Laku Masyarakat Lues
Dalam masyarakat Gayo, terlihat nyata adanya hubungan alam dan tingkah laku masyarakat. Dahulu penduduk Gayo pada umunya Gayo Lues pada khususnya sangatlah jarang. Letak antara satu rumah dengan rumah lainnya berjauhan. Bila waktu makan tiba, misalnya, seorang ibu tidak usah mencari anaknya ke tempat lain dengan berjalan kaki yang cukup memakan waktu. Cukup dengan memanggil anaknya dengan suara keras : “Ali, cepat pulang, mau makan“. Dalam radius 100 - 300 meter orang masih mendengar suara ibu ini dengan cukup jelas.
Satu hal lagi yang perlu diingat, seperti disinggung di atas, penduduk jarang, letak satu rumah dengan rumah lainnya cukup jauh. Hal ini menyebabkan orang, terutama pemuda yang berkunjung ke rumah lainnya harus ekstra hati-hati.
b.Seni Dengan Suara Keras
Ada kebiasaan para pemuda, dan juga pemudi tidak tidur di rumah masing-masing. Pemuda biasa tidur di menasah, atau di rumah kosong, atau di manah (rumah tempat penyimpanan padi). Kebiasaan tidak tidur di rumah ini mengingat rumah kecil, tidak berkamar, di sana bapak, ibu, dan anak-anak balita tidur. Janggal kalau sudah bujang, sudah gadis tidur di rumah, malu, pantang. Kalau pemuda tadi tidur di menasah, maka para pemudi tidur di rumah famili yang agak besar, pada umumnya ibu-ibu yang sudah janda atau kakek-nenek yang tidak begitu aktif lagi. Menjelang magrib, pemuda, terutama pemudi sudah harus berada di rumah peristirahatan. Dapat diduga, pemuda, terutama pemudi yang berangkat dari rumah pada sore hari harus hati-hati karena di tengah jalan banyak bahaya, ada babi, ada harimau, ada binatang buas lainnya. Sebagai alat utama dalam perjalanan para pemuda dan atau pemudi harus bersenandung keras-keras (dalam bahasa Gayo berjangin dan bersek) dengan harapan kalau ada bahaya, ada babi, ada harimau dan lain-lain, dapat menyingkir dari jalan yang dilalui.
Kebiasaan ini dilakukan dalam waktu yang cukup lama sehingga membudaya, terbawa-bawa ke seluruh tingkah laku orang Gayo. misalnya ke dalam kesenian, segala seni dilakukan dengan suara keras.
Saman harus dengan suara keras,
Bines harus dengan suara keras,
Didong harus dengan suara keras
Ke dalam tatanan kehidupan sehari-hari. Orang Gayo pada umumnya berbicara dengan suara keras, sama dengan orang Batak. Kata seorang antropolog, orang Gayo itu seperti kelapa, sangat keras di luar, tetapi di dalamnya manis dan lemak.
c.Hubungan Alam Dengan Lingkungan
Alam dan lingkungan juga dapat membentuk cara berpikir dan cara bertindak, dan berperilaku. Orang yang hidup di pegunungan pada umunnya kesehariannya sering naik turun gunung. Ketika naik gunung, selalu membungkukkan diri agar jangan jatuh, mencari keseimbangan tubuh. Demikian juga ketika turun gunung. Keadaan seperti ini terbawa-bawa ke dalam keseharian, misalnya kesenian. Semua bentuk kesenian orang Gayo dilakukan dengan membungkuk-bungkuk. Saman membungkukkan tubuh, Bines membungkukkan tubuh, Didong apalagi, demikian juga kesenian Tari Guel di Gayo Laut. Daerah lain yang letaknya di pegunungan juga misalnya Batak, dengan tari Tor-tor nya juga dilakukan dengan cara membungkuk. Satu kagi ciri khas kesenian Gayo seperti sudah disinggung di atas adalah dengan suara keras, karena itu nyanyian yang bernada lembut misalnya dari Jawa, sangat tidak disukai karena bertentangan dengan jiwa Gayo sendiri. Tidak juga ketinggalan dengan perilaku keseharian hidup di daerah pegunungan penuh derita dan perjuangan yang sangat berat. Untuk mencari sesuap nasi pada masa itu harus dengan ekstra keras perjuangan harus dengan keringat dingin, dan kadang-kadang sukar mendapat bantuan dari orang lain yang sedikit jumlahnya. Kerja keras, tak sempat berbicara santai dengan kawan, berakibat orang Gayo, malas berbicara kalau sangat tidak perlu. Akibatnya dalam keseharian orang Gayo sangat malas mengucapkan kata “ berijin, terima kasih  “ kepada pihak yang telah berjasa kepadanya. Anda jangan heran, kalau sekali waktu anda ke Gayo Lues khususnya, Gayo umumnya, dan anda berkeliling tempat ramai, dengarkanlah adakah orang Gayo mengucapkan berijin kepada lawan bicaranya. Jarang sungguhpun ada, seuribe sa, kata orang Aceh, artinya dalam 1000 orang yang anda jumpai hanya satu orang yang mau mengucapkan kata itu. Anda kurang yakin dengan hormat anda kami undang datang ke daerah ini.

Friday, March 15, 2013

Sanksi Hukum Menurut Orang Gayo Lues

Sanksi Hukum Menurut Orang Gayo Lues
Sanksi Hukum Menurut Orang Gayo Lues
Hidup kita selalu berdasarkan takdir, dari Allah SWT. Yang harus kita jalani. Ada untung, ada rugi. Apabila dapat untung kita wajib bersyukur, apabila dapat musibah harus bersabar. Manusia yang mendapat keuntungan tidak bersyukur, sangat dibenci Allah, demikian juga manusia yang ketika mendapat cobaan dengan musibah tidak bersabar, juga dibenci-Nya.
Rupanya hidup ini tidak luput dari dua hal yang saling bertentangan. Ada surga, ada neraka, ada senang, ada susah, ada siang, ada malam dan seterusnya. Kita menghendaki hidup aman tenteram, baldatun taybatun, warabbum qafur. Tetapi hampir susah mencapainya. Kita menghendaki di kampung kita tak ada criminal (Bahasa Gayo pelangaran). Namun ada juga, terjadi  pelanggaran, apa boleh buat.
Karena itu setiap “ pelanggaran ” kita beri sanksi. Sanksi hukum untuk setiap pelanggaran digolongkan sebagai berikut :
Diet    =pelanggaran yang mengakibatkan kerugian besar bagi orang lain, misalnya seorang membunuh kerbau orang lain, maka dia harus mengganti dengan kerbau yang sama besarnya.
Bela    =pelanggaran yang mengakibatkan kerugian bagi orang lain, ditimpakan sama dengan kerugian yang disebabkan oleh si pelanggar. Nyawa beluh nyawa gantie, rayoh beluh rayoh gantie. Beda diet dengan bela adalah, diet khusus untuk harta yang dapat diganti, sedang bela sesuatu yang tidak dapat diganti.
Rujuk    =pelanggaran/salah jalan yang masih dapat dikembalikan ke jalan yang benar, tingkis ulak ku bide, sesat ulak kudene.
Maas    =pelanggaran yang patut dimaafkan, setelah ditinjau dari segala segi.
Segala sanksi tersebut di atas akan hilang kekuatannya bila yang merasa dirugikan memaafkannya. Apabila yang dirugikan tidak memaafkannya, maka jema opat akan turun tangan menyelidikinya, dengan berpedoman kepada hukum adat, yaitu koro beruer, ume berpeger, malu beruang, mas berpure.
Apabila terjadi pelanggaran :
a.Koro beruer, ume berpeger,    terjadi pelanggaran, koro lepas dan merusak tanaman/masuk sawah, maka sifatnya tidak sengaja, kerugian dibagi dua.
b.Koro beruer, ume gere berpeger,    terjadi pelanggaran, kerbau merusak sawah, maka kerugian tidak diganti, kesalahan di pihak pesawah.
c.Koro gere berpeger, ume berpeger,    terjadi pelanggaran, maka kesalahan ditimpakan kepada pemilik kerbau.
d.Koro gere berpeger, ume gere berpeger,    terjadi pelanggaran, maka tuntutan kerugian dianggap tidak ada.
Atas dasar hukum adat inilah segala sesuatu perbuatan yang melanggar hukum, ditarik garisnya.
Sebagai misal, kejadian dalam penghidupan sehari-hari : seorang gadis diperkosa oleh seorang pemuda di luar rumah pada malam hari. Kejadian ini dilihat dari dasar adat tersebut di atas, diselidiki oleh jema opat dengan teliti. Apa sebab si gadis ke luar rumah pada malam hari, sedangkan koro beruer, gadis harus tinggal di dalam rumah pada malam hari. Tanpa pengawal, seorang gadis dilarang ke luar rumah. Sedangkan pemuda dibenarkan ke luar rumah pada malam hari. Kesimpulannya, gadislah yang bersalah, karena itu si pemuda bebas. Diistilahkan dalam bahasa Gayo, i deretni tarak pakanni musang, ideretni uer pakanni kule, di luar kandang makanan musang, di luar kandang makanan harimau. Bagaimana bila kejadian tersebut terjadi pada siang hari?. Bila mereka tidak berencana sebelumnya, dan pekerjaan itu tidak dilakukan suka sama suka, maka untuk pembuktian dilihat beberapa alternatif, yang diistilahkan dengan :
Ike i belang penyemuran, jemur mayak, ike i belang kolak baju murebek, ike i aih aunen labu mupecah. Pembuktian harus nyata, tidak dibuat-buat

Sarak dan Jema Opat dalam Sistem nilai budaya pada masyarakat Gayo Lues

Sarak dan Jema Opat
Di Gayo Lues, daerah pemerintahan yang terkecil disebut kampung. Kampung dalam hukum disebut Sarak. Sarak ini diperintah oleh jema opat, yaitu : sudere, urang tue, pegawe dan pengulute. Keempat unsur jema opat ini mempunyai fungsi masing-masing, sebagai berikut :
Sudere      = rakyat banyak, fungsinya genap mufakat, golongan ini dapat disamakan dengan badan pekerja. Golongan ini harus bersatu padu melaksanakan segala tugas untuk kepentingan bersama.
Urang tue = perwakilan yang anggotanya diambil dari orang-orang tua yang telah banyak pengalaman, fungsinya musidik sasat, meneliti segala pekerjaan yang bertujuan untuk kesejahteraan bersama, dan juga sebagai penasehat adat.
Pegawe      = golongan masyarakat yang anggotanya diambil dari para ahli dalam pertukangan, dan pengetahuan lainnya, fungsinya muperlu sunet, artinya mereka mengetahui apa yang harus dikerjakan untuk kesejahteraan bersama.
Pengulute = pemimpin kampung yang diangkat berdasarkan pemilihan secara langsung, fungsinya musuket sifet, pemimpin masyarakat secara adil, tidak berat sebelah. Nyuket kuara gere naeh rancung, nimang kuneraca gere naeh alihen.

Wednesday, March 13, 2013

Persepsi Masyarakat Gayo Lues

Persepsi Masyarakat Gayo Lues
Persepsi biasanya dimaksudkan juga dengan sudut pandang dari seseorang/individu, atau kelompok masyarakat mengenai suatu hal atau masalah. Bila ada masalah jarang sekali semua orang berpendapat sama, pasti ada perbedaan pandangan. Contoh, saman dua hari dua malam. Ada yang setuju ada yang menentang, tergantung persepsi masing-masing.
Persepsi yang kita ulas hanya berdasarkan tata krama Gayo Lues saja. Seperti saman, roa lo roa ingi di atas. Dari segi adat dapat diterima, misalnya mempererat tali silaturahmi antarsesama anggota masyarakat, antarkampung. Namun anggota masyarakat bukan satu orang. Tiap kepala dapat menafsirkan sendiri-sendiri. Bagi masyarakat miskin sangat memberatkan karena biaya besar. Gara-gara saman, sawah terjual, untuk menutupi hutang, dan sebagainya.pemuda dan pemudi punya persepsi lain lagi. Mereka ingin senang, ingin ada meriah – rerami, soal biaya bukan urusan mereka. Jadi dapat disimpulkan tiap kepala punya persepsi masing-masing

Tuesday, March 12, 2013

Gelar Semu Masyarakat Gayo Lues

Gelar Semu Masyarakat Gayo Lues
Para antropolog mengatakan bahwa orang Gayo, sama dengan orang Batak, punya gelar semu. Gelar atau nama yang bukan sebenarnya, dan atau panggilan yang bukan sebernarnya.
Liku-liku gelar semu ini diatur sebagai berikut :
Seseorang (katakanlah namanya si Ali), bila belum kawin, namanya dapat dipanggil Ali, oleh orang-orang yang lebih tua dari dia, atau dalam bahasa antropologi disebut derajat tutur. Bila Ali sudah kawin, tetapi belum punya anak, nama Ali tidak boleh lagi menjadi nama panggilan, derajat Ali naik satu tingkat, dan sebutan baru adalah aman mayak. Beberapa bulan kemudian lahir anaknya laki-laki, maka si Ali mendapat gelar baru sebagai aman win; win adalah panggilan untuk anak laki-laki di daerah Gayo, Aceh = agam, Batak = ucok, Minang = buyung. Bila anaknya lahir perempuan, maka panggilan si Ali menjadi aman ipak, ipak panggilan untuk anak perempuan secara khusus, sedangkan secara umum disebut etek, Aceh = inong, Batak = butet. Bila anak yang lahir ini telah diberi nama, misalnya bila anak yang lahir ini telah diberi nama, misalnya Seman atau Timah, maka si Ali dipanggil Aman Seman, atau kalau anaknya perempuan tadi dia dipanggil Aman Timah. Panggilan terhadap Ali ini, walaupun dia sudah bergelar Aman Timah, misalnya, dia boleh saja dipanggil Aman ipak, atau Aman win, panggilan seperti ini lebih halus dan bersifat kekeluargaan, serta agak terhormat. Gelar semu ini akan berlanjut terus beberapa tingkat lagi. Bila si Seman, anak Ali tadi kawin dan belum punya anak, maka si Ali mendapat gelar semu sebagai Empun Mayak, dan bila cucu pertama lahir, belum diberi nama, gelar baru si Ali adalah Empun Win, atau Empun Ipak, bila cucu pertamanya adalah perempuan dan belum diberi nama, atau Empun Timah, bila cucunya yang pertama bernama Timah.
Serupa dengan gelar semu Ali di atas, maka berlaku juga bagi isteri si Ali, yang bernama Unah. Kalau untuk si Ali Aman Mayak, maka untuk Unah Inen Mayak, demikian juga Aman Win bagi si Ali, maka Inen Win, bagi Unah, aman Seman bagi Ali, Inen Seman bagi si Unah.
Misalkan cucu I perempuan bernama Bumah    Aman Mayak
Inen Mayak
Aman Win/Aman Seman
Inen Win/Inen Seman
Aman Ipak/Aman Timah
Inen Ipak/Inen Timah
Empun Mayak
Empun Mayak
Empun Husin/Empun Win
Empun Husin/Empun Win
Empun Bumah/Empun Ipak
Empun Bumah/Empun Ipak    Baru kawin belum
punya anak
Anak pertama
Laki-laki/Seman
Anak pertama perempuan bernama Timah
Seman sudah kawin tapi belum punya anak
Cucu pertama bernama Husin
Misalkan cucu I perempuan bernama Bumah

Jika dilihat arti sebenarnya, aman itu asal katanya adalah ama yang di dalam bahasa Gayo, berarti bapak, ni = nya, Aman Minah – amani Minah – bapak si Minah; inen berasal dari kata ine – ibu/mamak, ine ni Husin – ibu (nya) Husin. Empu – nenek; Empun Dulah – nenek/kakeknya Dulah.
Barangkali ada baiknya kita singgung sedikit apa yang diistilahkan oleh antropologi dengan derajat tutur tadi. Kita mulai dengan ego. Bila ditarik garis secara vertikal, terdapat pada garis pertama, yaitu ama/bapak, dan ine/ibu. Adik bapak yang laki-laki dipanggil ujang, dan yang perempuan ibi, isteri ujang, dipanggil Ine Mayak, bila belum punya anak, Ine Win, bila anaknya yang pertama laki-laki, Ine Ipak, bila anak pertamanya perempuan. Suami ibi dipanggil kail,  suatu panggilan yang tetap, walau kail ini kelak mempunyai anak atau cucu. Anak ujang dipanggil serinen/win, bila laki-laki, dan dengan bila perempuan. Anak ibi/kail dipanggil impel oleh ego. Abang ayah ego dipanggil uwe, demikian juga isterinya, tetap dipanggil uwe. Untuk membedakannya dipanggil uwe rawan, untuk laki-laki, dan uwe benen untuk yang  perempuan. Anak uwe yang laki-laki dipanggil abang, dan yang perempuan dipanggil aka; pada jalur kedua didapati mpawan/kakek Indonesianya, yaitu ayah-ayah ego, dan mpu enen, ibu-ayah ego; Indonesia = nenek. Panggilan untuk saudara kakek ini, sama saja, terkecuali kalau kakek tadi belum kawin, maka ego memanggilnya dengan mpujang/ dari kata mpubujang, bagi yang laki-laki, dan mpuberu, bagi yang perempuan. Pada jalur ketiga panggilannya adalah datu, untuk ayah-ayah-ayah ego. Datu ini juga untuk panggilan yang perempuan, datu rawan, dan datu benen. Di atas datu adalah muyang, muyang rawan dan benen.
Jalur ke bawah terdapatlah keadaan sebagai berikut :
Adik laki-laki/perempuan ego disebut ngi. Suami adik perempuan disebut lakun, anak lakun disebut until, abang ego disebut abang, kakak ego disebut aka, anak ego disebut anak, isteri anak disebut pemen, suami anak disebut kile. Anak pemen dan atau anak kile, disebut kumpu, dan anak kumpu disebut piut.
Pada jalur croos-causin pihak isteri ego terdapat suatu aturan tertentu pula. Isteri ego disebut ton umah, (halusnya dan kasarnya inen). Abang atau adik isteri laki-laki disebut lakun, dan suami adik isteri disebut periben. Orang tua isteri ego disebut mpurah.
Derajat tutur ini begitu memegang peranan penting, dan hamper tidak pernah terjadi tawar menawar. Seorang yang telah besar atau tua sekalipun harus memanggil ujang kepada anak kecil/anak kakeknya.
Bagaimana suami memanggil isteri dan sebaliknya ?
Biasanya suami memanggil kam kepada isterinya atau sebaliknya. Kam ini adalah kata halus dari kata ko/kau. Kam juga dimaksudkan sebagai panggilan anak muda kepada orang tua atau kepada kawan-kawannya yang banyak. Kalau kawan bicaranya hanya satu orang, maka kata kam tidak boleh dipergunakan. Bila disingkatkan adalah sebagai berikut :
Ama    =ayah ego,
Ine    =ibu ego,
Ujang    =adik ayah ego,
Uwe    =abang ayah ego,
Ibi    =saudara perempuan ayah ego,
Mpawan    =ayah ayah ego,
Mpuenen    =ibu ayah ego,
Mpujang    =saudara ayah, ayah ego, belum kawin,
Mpuberu    =saudara perempuan ayah, ayah ego, belum kawin,
Datu    =ayah atau ibu mpawan ego,
Muyang    =ayah atau ibu datu ego,
Abang    =abang ego,
Aka    =kakak ego,
Anak    =anak ego, baik laki atau perempuan,
Kumpu    =cucu ego,
Piut    =anak cucu ego,
Ngi    =adik ego,
Lakun    =ipar ego,
Kile    =menantu ego (laki-laki),
Pemen    =menantu ego (perempuan),
Ton numah=isteri ego,
Periben    =suami saudara isteri ego,
Mpurah    =mertua ego,
Kail    =suami bibi ego,
Pun    =saudara laki-laki ibu ego,
Inepun    =isteri pun,
Ama win    =ujang yang anak pertamanya lelaki,
Ama ipak=ujang yang anak pertamanya perempuan,
Ine mayak=isteri ujang, belum ada anak,
Aka mayak=isteri abang ego yang belum ada anak,
Abang mayak=abang ego yang baru kawin.

g.Garis Keturunan Orang Gayo Lues (Patrileneal/Kebapakan)
= Rawan
= Benen
1 = Amaku
2 = Ineku
3 = Awanku
4 = Enenku
5 = Datuku/rawan
6 = Datuku/benen
Datuku urang kampung Palok, maka :
Awanku urang kampung Palok, maka,
Amaku urang kampung Palok, maka,
Aku urang kampung Palok.
Ineku iango ari kampung Badak, besilo we jadi urang Palok,
Enenku iango ari kampung Penosan, besilo we jadi urang Palok,
Datuku si benen iango ari kampung Padang, besilo we jadi urang Palok.
Jadi menurut edet Gayo Lues, pake umahni, ine, enen, datu benen si berasal ari kampung laen, secara otomatis menjadi urang kampung datuku, dan seterusnya.

Hubungan antara Mertua dan Menantu Masyarakat Gayo Lues

Hubungan antara Mertua dan Menantu Masyarakat Gayo Lues
Hubungan antara menantu dan mertua di daerah ini terdapat suatu kesopanan tertentu yang disebut tabu mertua. Pergaulan antara menantu dan mertua tampaknya begitu tegang seperti dipandang tidak patut. Masing-masing sedapat mungkin menghindarkan diri dari yang lain. Mereka berbicara secara tidak langsung dan, apabila pembicaraan terpaksa dilakukan, maka dicarilah orang lain sebagai perantara. Misalnya ibu mertua/bapak mertua hendak menyuruh menantunya untuk mencari kerbau yang hilang. Bila di rumah yang ada, selain mereka berdua, misalnya anak kecil yang berumur satu tahun yang belum bisa berbicara, maka kalau ibu/bapak mertua mau berbicara dengan menantunya tadi, harus melalui anak kecil tadi. “ Ali (misalkan anak kecil tani bernama Ali) bilang sama bapakmu supaya dia mencari kerbau kita yang hilang dua hari yang lalu ”. Bagaimana kalau yang ada di rumah hanya mereka berdua ? Mudah saja, sebagai perantara boleh alat dapur, atau yang lain. “ Periuk, tolong bilang sama abangmu itu supaya dia nanti mencari kerbau kita yang hilang ”. bicara mertua agak keras supaya didengar si menantu.
Tidaklah sopan bila seorang menantu/mertua langsung berbicara, seperti dengan kawan-kawan. Bila terjadi hal seperti ini, dan diketahui orang lain, si menantu biasanya harus sabar menerima ejekan orang lain, dengan ungkapan lelang, artinya bodoh, kurang ajar. Cinta mertua-menantu sering disebut orang cinta anjing, disayangi tapi tidak boleh dipegang, haram. Pergaulan mertua-menantu selanjutnya tidaklah pernah di antara mereka itu makan bersama dalam satu tikar, menantu dilarang keras melangkahi tempat tidur mertua, tidak boleh menatap mata mertua, dan lain-lain sebagainya. Bentuk-bentuk pergaulan itu selain terhadap mertua, juga terhadap kerabat-kerabat terdekat, bahkan pada zaman dahulu, kalau tidak sangat penting sekali si menantu tidak dibenarkan memasuki kampung mertua. Pada waktu menantu masih dalam keadaan bulan madu, segala pekerjaan yang seharusnya dikerjakan oleh mertua, menjadi tanggung jawab si menantu. Dari pagi sampai matahari terbenam si menantu akan berusaha dengan sekuat  tenaga untuk bekerja sekedar untuk mendapat kepuasan mertua dan familinya. Bila ujian ini sukses, si menantu mendapat pujian dari mertua. Konsekuensinya, si menantu sudah mudah meminta apa saja yang diperlukan keluarga menantu. Bagaimana keadaannya, kebalikan dari keadaan di atas? Si menantu yang agak malas, biasanya diejek famili, dan kurang disukai. Bila pekerjaan si menantu ini belum juga rampung, padahal seharusnya sudah rampung, maka pemuda boleh menanam pokok pisang di sawah si menantu pada malam hari. Ini suatu tanda bahwa sawah tidak boleh lagi dikerjakan, menurut adat Gayo. Rugi memang, tapi apa boleh buat, tangan mencencang, bahu memikul. Arti hukuman ini untuk si menantu adalah dipersilahkan untuk ..... lari malam, atau merantau dalam waktu sekurang-kurangnya sekali musim tanam. Rupanya efek sampingan lainnya adalah orang akan berpikir dua kali mengambil menantu dari famili si terhukum.
Masih sekitar hubungan mertua menantu. Bila ada orang bertanya, siapa nama mertuanya, si menantu selalu menghindar menyebutkannya, demikian pula si mertua hampir tidak “ tahu ” siapa nama menantunya, walaupun mereka tidak berdekatan. Si menantu perempuan tidak boleh memanggil ama/bapak kepada mertua laki-laki, tetapi menggantinya dengan panggilan tuen/tuan.

Dunia Seberu-sebujang dalam Masyarakat Gayo Lues

Dunia Seberu-sebujang dalam Masyarakat Gayo Lues
Orang selalu menaruh perhatian yang sangat terhadap masalah perkawinan; tentu saja bagi pemuda, pemudi, dan bahkan orang tua. Mereka jauh-jauh hari sudah sibuk bahkan sebelum anak-anak mereka meningkat baliq. Tidak jarang, bahkan orang tualah yang paling sibuk mencari dan atau mengintip calon menantu mereka. Orang tua calon menantu sudah didekati, dengan satu tujuan agar mereka berbesan kelak. Bila gayung bersambut, hubungan antarcalon besan menjadi baik, selama tidak terjadi apa-apa yang dapat merenggangkannya. Tidak jarang terjadi hubungan bahkan semakin meruncing bila salah satu pihak berkhianat, misalnya mengawinkan pasangan tadi dengan orang lain. Perkawinan yang didahului dengan pertunangan seperti model di atas, bukan berarti kawin paksa, biasa dilakukan terutama antarfamili/masih ada hubungan darah, antarkampung, bahkan antarbelah. Kelihatan jelas dalam perkawinan di atas orang tualah yang aktif, sedangkan pemuda-pemudi sangat pasif. Anak yang baik tidak banyak tingkah. Mereka ini tidak mau tahu siapa yang jadi jodohnya, toh itu urusan orang tua, dan sudah demikian menurut adat. Seakan-akan tidak ada kemerdekaan dalam pemilihan jodoh. Kalau salah satu pihak, misalnya, berkeberatan dengan jodoh yang sudah disetujui orang tua, yang biasa disebut kawin paksa, biasanya pemudilah yang paling sering menjadi korban. Sekuat tenaga dia menolak jodoh tadi dengan berbagai alasan, sekuat tenaga pula orang tua si pemudi membujuknya, kalau perlu dengan sedikit ancaman. Biasanya pasukan pembujuk yang diturunkan untuk meruntuhkan benteng pemudi ini adalah pihak bibi-bibi tua yang bijak, yang telah banyak makan asam garam. Seorang gadis haruslah kuat urat syarafnya menangkis kefasihan lidah bibi-bibi ini. Mereka berganti-ganti dengan setianya, tanpa jemu-jemunya, berjam-jam, bahkan berhari-hari menyakinkan anak gadis yang kurang patuh ini akan kebodohannya, kekurangpikirannya, tentang keuntungannya bila dia memilih dan menyetujui pilihan orang tuanya. Juga dijelaskan penyesalan-penyesalan yang dialaminya kelak bila melawan kehendak orang tua. Apabila bujukan ini tidak mempan juga, maka ada jalan lain, yaitu meminta bantuan kepada roh-roh nenek moyang, dengan jampi-jampi atau jelasnya dengan jalan halus. Bila jalan terakhir ini juga masih belum mempan, si gadis biasanya lari dan atau bunuh diri.
Sebelum agama Islam masuk ke daerah ini, di daerah ini telah dikenal perkawinan yang bersifat exogam, artinya perkawinan diusahakan di luar hubungan kekeluargaan empat garis vertikal, dan horizontal. Bila dilanggar maka diyakini, akan terjadi angin topan, banjir, letusan gunung, dan lain-lain. Juga sebelumnya perkawinan antarbelah, antarkampung, sangat ditabukan, seperti telah disinggung di muka. Bagaimana setelah Islam masuk? Pada umumnya orang lebih memilih hukum perkawinan secara adat daripada secara hukum Islam, pada mulanya, sungguhpun akhir-akhir ini sudah berubah. Perkawinan antara anak seorang saudara laki-laki dan anak saudara perempuan, menurut agama Islam dibenarkan, tetapi menurut adat, sebaiknya dihindarkan. Bila hal seperti ini terjadi, maka secara Islam dianggap tidak ada masalah, tetapi secara adat, sipelaku akan diejek orang.
Seperti telah disinggung di muka, perkawinan daerah Gayo dipakai hukum patrilineal/kebapakan. Justeru itu perkawinan harus exogam-clan; perkawinan diusahakan dari clan lain dari clan bapak. Perkawinan antara dua orang dalam clan yang sama dianggap tabu/pantang. Clan-clan di daerah Gayo ditandai dengan kuru, keluarga empat keturunan secara vertikal. Batasan ini sangat kabur sekali sehingga para ahli antropologi mengatakan bahwa di Gayo tidak ada clan. Sungguhpun demikian untuk memudahkan clan dianggap ada. Beberapa kuru membentuk sebuah kampung. Pada masa penjajahan Belanda dahulu, kuru ini diistilahkan dengan belah. Setiap kampung terdiri atas beberapa belah.
Ditinjau dari beberapa segi, pelarangan perkawinan satu belah/kampung ada baiknya. Pertama, kampung di daerah Gayo dihuni oleh keluarga yang masih berhubungan darah/famili. Selanjutnya dalam pelaksanaan perkawinan, atau perhelatan lainnya, pemuda dan pemudi mempunyai tugas yang berat. Mencari kayu api, mencari daun pisang, ke hutan adalah sebagian kecil tugas mereka. Mereka ini dilepas bersama-sama ke hutan mencari kayu, tanpa diawasi orang tua. Mereka sudah dianggap adik kakak, seibu sebapak, yang tabu kawin. Kalau misalnya mereka tidak dianggap adik kakak, tentu saja mereka boleh bermain mata. Kalau ini terjadi keamanan kampung rusak, dan kepercayaan terhadap muda-mudi hilang.
Adalah pada tempatnya bila dalam uraian ini juga disinggung secara singkat tentang pengelompokan berdasarkan usia, jenis kelamin, dan tingkat bangsa. Pada tiap-tiap bangsa di dunia, pengelompokan tadi sangat penting. Pengelompokan ini selalu dilaksanakan dengan upacara-upacara. Upacara seperti ini dipelopori oleh orang-orang tua, mengingat kedudukan mereka sangat dihormati di daerah ini.
Perbedaan usia dapat dilihat dari pakaian, pemeliharaan rambut, dan hiasan badan. Cara bergaul antara pemuda dewasa dan yang belum dewasa sangat intim, dan ini menyebabkan pemuda yang belum dewasa cepat menjadi “ matang ”, tambahan pula perbedaan rohani antara seseorang yang kawin, dan yang belum kawin, demikian kecilnya sehingga masa pubertas seseorang sangat pendek sekali. Pemuda atau pemudi yang cepat didewasakan masih terlalu muda dan belum dapat melepaskan diri dari ketiak orang tua. Sarjana Dr. H. Th. Fisher menyatakan bahwa di daerah Gayo orang terlalu cepat didewasakan, terlalu cepat diberi tanggung jawab perkawinan, terlalu cepat menjadi ibu-bapak, terlalu cepat menjadi orang tua, dan ………… terlalu cepat masuk kubur. Jarang sekali pemuda/i menghabiskan masa mudanya sampai umur 20 tahun, jarang sekali pemuda/i yang sudah kawin lepas dari orangtuanya/jawe, akibatnya pemuda sangat berat tanggung jawabnya, dan jarang sekali berumur panjang.
Apabila seseorang bayi berumur beberapa hari/minggu, untuk dapat diterima menjadi anggota keluarga secara resmi, maka dia harus menjalani suatu upacara yang disebut turun mandi. Dia telah diterima menjadi anggota keluarga dengan diberi nama, rambutnya dipotong untuk pertama kali, dan sebagainya. Upacara selanjutnya adalah upacara menuju pubertas pertama yang dikenal dengan jelisen, atau sunat rasul, yang dahulu kala ditandai dengan menghitam gigi dengan getah jeruk yang dibakar.
Upacara perkawinan juga adalah peralihan dari bujang/beru ke arah telah kawin. Tahap selanjutnya adalah kehamilan, yang didaerah ini dahulu dapat dianggap suatu bahaya, bukan saja bagi si ibu, tetapi juga kungkungan bagi bapak. Dahulu ada upacara penyambutan kehamilan sekian bulan, namun sekarang tidak ada lagi. Yang ada adalah larangan bagi si ibu, dan juga si ayah. Calon ibu yang sedang hamil dilarang keras meniti titian terutama yang terbuat dari batang kelapa atau batang pinang, dilarang makan di atas tangga, dilarang melepaskan rambut ketika memasak, dan lain-lain sebagainya. Sedangkan calon bapak dilarang membunuh atau menyakiti orang, dan binatang, dan lain-lain sebagainya. Bagaimana kalau dilanggar? Tentu berakibat datangnya mara bahaya yang dapat merenggut nyawa anak dan atau ibu.
Pada pengelompokan usia ini juga dapat kita lihat perbedaan antara hak dan kewajiban para anggota. Kewajiban pemuda yang dalam bahasa Gayo disebut sibebujang adalah menjaga keamanan kampung, mengerjakan pekerjaan yang berat-berat, seperti mencangkul sawah, menebang hutan, berkebun, dan lain-lain sebagainya. Sedangkan si pemudi yang disebut sibeberu berkewajiban untuk mengerjakan pekerjaan yang ringan-ringan, sesuai dengan kodratnya, seperti memasak, mencari kayu bakar, menanam padi, dan lain-lain sebagainya.
Diatas telah diuraikan serba ringkas tentang pengelompokan berdasarkan usia. Bila kita lanjutkan dengan pengelompokan berdasarkan jenis kelamin, maka kita akan melihat beberapa hal yang mempunyai segi-segi persamaan dan sedikit perbedaan. Pengelompokan berdasarkan ini dimulai dengan bentuk yang terutama sekali ditandai dengan permainan dan pakaian. Anak laki-laki cepat sekali belajar dari anak-anak yang lebih besar darinya, dan dari bapaknya, sedangkan anak perempuan lebih mengikuti ibunya. Bila anak-anak meningkat besar, kelihatan lebih nyata lagi pembagian pekerjaannya, yang tentu di samping pekerjaan yang dikerjakan bersama-sama antara kedua jenis tersebut. Seorang pasti diejek atau ditertawakan bila mengerjakan yang bukan pekerjaan jenisnya. Demikianlah malunya seorang pemuda bila dia menyabit padi, dan pemudi mencangkul sawah. Sungguhpun pembagian ini begitu tegas dan keras, anggota masyarakat tidaklah perlu gusar bila keluarga mereka hanya mempunyai anak laki-laki, atau anak perempuan saja. Pemuda/i kampung telah mempunyai organisasi sendiri yang bertugas bergotong royong mengerjakan pekerjaan keluarga secara bersama, di bawah ketuanya yang dipilih secara langsung dengan suara terbanyak. Seorang janda tua yang tidak punya anak atau punya anak tapi masih kecil tidak usah takut sawahnya tidak terurus dan terbengkalai. Tugas ini diambil alih para pemuda/i tanpa bayaran apa-apa. Si janda tidak perlu mengeluarkan biaya atau yang lainnya; yang diperlukan senyum dan keramahan lainnya. Adalah merupakan suatu tamparan bagi organisasi pemuda/i bila mereka tidak mau mengerjakan sawah si janda, dengan alasan apapun.
Kehidupan sisebujang, dan siseberu bila diteliti secara seksama sungguh mempunyai keunikan tersendiri. Pemuda/i tidak pernah tidur di rumah sendiri, selain karena tidak dihendaki adat, juga karena rumah keluarga pada umumnya kecil dan tidak mempunyai kamar sendiri.
Para pemuda tidur dalam satu tempat yang disebut manah, yaitu tempat yang khusus dibuat oleh jema opat yang letaknya biasanya di tengah-tengah kumpulan rumah keluarga. Seorang anak yang telah disunat rasulkan jarang sekali tidur di rumahnya bersama orang tuanya sendiri. Bahkan boleh dikatakan tidak pernah ada seorang pemuda yang mau tinggal di rumah sendiri pada malam hari walaupun keadaan rumah besar, kalau tidak mau diejek kawan-kawan yang lain dengan ejekan “ menyusu”. Manah mempunyai banyak fungsi, sebagai tempat bertukar pikiran, menyusun rencana untuk kemajuan kampung, juga menyusun strategi untuk mendapatkan kawan hidup. Hal ini kita singgung mengingat para pemuda setiap kampung akan mengadakan operasi ke kampung lain untuk menjumpai buah hatinya, yang dalam bahasa Gayo disebut “ nrojok ”. jelasnya nrojok dimaksudkan si pemuda mendatangi tempat pemudi menginap pada malam hari dengan maksud hanya sekedar berbicara saja. Biasanya terlebih dahulu sudah ada kode sebelumnya pada siang hari. Jarang sekali pekerjaan ini dilakukan seorang diri. Berombongan jauh lebih disukai mengingat segala kemungkinan yang akan dihadapi. Nrojok ini penuh resiko, yang kadang-kadang nyawa tantangannya, sebab pemuda dari kampung si pemudi yang didatangi tadi tidak tinggal diam. Bila tamu yang “ tidak diundang ” ini kedapatan/ketahuan, maka pedang akan berbicara, dan hal ini dibenarkan oleh adat.
Hampir sama dengan keadaan pemuda tersebut di atas para pemudi juga tidak jauh keadaannya. Mereka tidak pernah tidur di rumah sendiri. Pada malam hari mereka berkumpul di sebuah rumah/biasanya di rumah seorang janda/janda tua inilah yang mengurus pemudi pada malam hari. Beliau punya hak istimewa, punya hak veto, bahkan mendekati hak prerogatif yang tidak dapat diganggu gugat. Pemudi harus rela dinasehati ibu janda ini, walaupun kadang-kadang terasa pahit. Pemudi diajari soal berumah tangga pada malam hari sebelum tidur. Bagaimana memilih suami, bagaimana menyenangkan hati suami, hati mertua, hati famili, bagaimana cara menghidang, cara memasak yang benar, cara mengurus anak, dan lainnya. Semacam penataranlah sifatnya. Antara pemudi dan ibu janda ini hubungan sudah demikian akrabnya, sehingga si pemudi secara terbuka memberitahukan idamannya, dari kampung mana, siapa namanya, dan lain-lain sebagainya. Kalau sudah demikian halnya, pemudi harus luar biasa patuhnya kepada ibu janda ini, dan bila kepatuhan dilanggar bukan tidak mungkin ibu janda ini berkhianat, memberitahukan pacar si pemudi kepada ketua pemuda setempat. Kalau sudah demikian suasana bisa hangat. Si pemudi bisa dimarahi si pemuda, dan atau gerak gerik si pemudi dan si pemuda lawannya akan dijaga dengan sangat ketat, kesempatan si pemudi untuk berbicara dengan pemuda pada malam nrojok, sukar didapat. Ada kalanya ibu janda ini disogok oleh pemuda kampung lain, agar kebebasan berbicara antarpacar dapat berlangsung dalam waktu yang lama tanpa diketahui pemuda pengawal. Tapi harus awas, sebab bila ketahuan ibu janda ini juga dapat dihukum, misalnya si pemuda memboikot segala pekerjaan si janda, atau si pemudi pindah menginap ke rumah janda yang lain.
Seorang pemuda dari kampung lain yang sedang nrojok lalu tertangkap, hukumnya sangat berat, tidak jarang namanya saja yang kembali ke kampungnya. Ada juga baiknya bila kita tinjau pembagian kelompok pemuda kampung. Ada tiga kelompok dalam organisasi pemuda kampung, sebagai berikut :
1.Kelompok pertama, bertugas menjaga kampung, dari gangguan pemuda kampung lain, yang berusaha dengan segala akal untuk memasuki kampung untuk nrojok;
2.Kelompok kedua berusaha menyusup ke kampung lain untuk maksud yang sama, dan,
3.ketiga kelompok pemuda yang memberi kursus/latihan kepada pemuda-pemuda yang belum berpengalaman.
Begitulah misalnya bila ada pemuda lain menangkap pemuda kampung lain, biasanya khabar cepat didapat oleh orang-orang tua. Kalau demikian keadaannya, kedua kelompok cadangan (kelompok 2 dan 3), dengan sendirinya memberikan bantuan terhadap kawan yang tertangkap, dengan segala daya, kalau perlu dengan perang tanding. Karenanya tidaklah mengherankan bila setiap pemuda di daerah ini setiap hari/malam, membawa pedang sebagai alat
Berbagai sumber

Komponen Pengetahuan system sosial budaya Gayo Lues

Komponen Pengetahuan system sosial budaya Gayo Lues
Sistem pengetahuan merupakan salah satu upaya manusia untuk mempertahankan dan mengembangkan budayanya. Melalui suatu pengetahuan yang dimilikinya manusia mampu beradaptasi dengan alam sekitarnya, mampu meningkatkan produktivitas kebutuhan hidupnya. Sebagai contoh orang Gayo disebut petani berpindah-pindah. Setelah menebang hutan dan mengolahnya, kemudian meninggalkannya dan membuka hutan lagi, begitu seterusnya. Karena –  katanya - lahan yang baru dibuka lebih subur karena banyak humusnya/pupuknya.
Semula sistem berpindah-pindah memungkinkan sebab lahan sangat luas. Tetapi semakin lama hutan semakin sempit, dan pada puncaknya sekarang tidak ada lagi hutan yang dapat dijadikan kebun. Hutan habis, sistem menetap belum popular, apa jadinya. Hutan yang telah ditebang hanya ditanam tanaman muda, seperti tembakau, sayur mayur dan lain-lain, yang digunakan untuk keperluan dapur. Rakyat masih terpaku pada hasil sawah sebagai tumpuan hidup, yang menjanjikan. Atau dengan kata lain, sawah usaha utama, kebun usaha kedua, atau istilah rakyat sekedar untuk “ harga rokok ”. atas dasar ini pula rakyat kurang suka sistem menetap, lebih suka sistem tebang, tanam, tinggalkan, hasil cepat untuk keperluan dapur. Satu lagi hasil usaha rakyat di daerah ini adalah ternak besar dan kecil, seperti kerbau, lembu, kambing, ayam. Dan lain-lain. Kalau kebun sudah berhasil, lalu ditinggalkan, rumput tumbuh subur. Artinya hewan besar masuk. Kalau toh mau berkebun lagi, harus dipagar. Ini yang berat. Biaya besar, tenaga terkuras hasil agak lama baru dinikmati. Lama baru terasa bahwa menanam tanaman tua jauh lebih menguntungkan, setelah melihat pioneer-pioner yang patut ditiru. Dapat diambil kesimpulan – berdasarkan pengalaman – bahwa hasil kebun jauh lebih banyak daripada hasil sawah. Kebun dengan tanaman tua dapat berlanjut, kerbau yang merusak kebun bisa diatasi, - kalau meminjam istilah Pak Adam Malik – semua dapat diatur, demi kemaslahatan bersama.

Komponen Bahasa Gayo Lues

Komponen Bahasa Gayo Lues
Bahasa adalah alat komunikasi untuk melahirkan perasaan dan pikiran manusia. Bahasa berfungsi sebagai alat komunikasi, sosialisasi dan artikulasi.
Bahasa Gayo, awalnya adalah Bahasa Melayu tua. Bila diperhatikan Bahasa Gayo lama dan Bahasa Melayu tua untuk alat rumah tangga, alat dapur, alat bercocok tanam, dan lain-lain, kosa katanya hampir sama.
Contoh :
Gayo    Melayu Tua
Parang    parang
Keramil    kerambil
Aih    air
Pingen    pinggan
Umah    rumah
Mangan    makan
Kaso    kasau
Para    para
Lede    lada
Time    timba
Kurik    kurik
Lemu    lembu
Pedang    pedang
Senuk    senduk
Minum    minum
dan lain-lain.
Kalau dilihat kamus Bahasa Melayu Kuno, dan dibandingkan dengan Bahasa Gayo Lama, kata-katanya banyak yang hampir bersamaan. Perbedaan kecil hanya pada pengucapannya saja.
Semula Bahasa Gayo seluruhnya sama, hanya saja lama kelamaan semakin berbeda, mungkin dipengaruhi bahasa yang berdekatan dengan pemakaian bahasa lain. Bahasa Gayo ada 5 dialek sekarang ini yaitu :
1.Dialek Lut            Aceh Tengah dan Bener Meriah.
2.Dialek Gayo Lues        Kabupaten Gayo Lues.
3.Dialek Deret/cik        Kecamatan Linge/Isak.
4.Dialek Serbajadi        Aceh Timur.
5.Dialek Kalul            Aceh Timur.
Dari ke lima dialek tersebut, dapat dibagi 2 (dua) secara garis besar yaitu Gayo Lues dan Gayo Lut. Gayo Lut dan Gayo Deret hampir sama, sedangkan Gayo Lues, Serbajadi dan Kalul juga hampir sama.
Perbedaan antara Gayo Lues dan Gayo Lut dapat dilihat dalam tata bahasa dan dalam kosa kata.
1.Dalam Tata Bahasa :
Tidak diketahui apa sebabnya, mengapa tata bahasa Gayo Lut sangat berdekatan dengan Bahasa Batak.
Huruf hidup pada akhir kata, ku dan mu untuk kata kepunyaan/milik di Gayo Lut, harus ditambah huruf ng sedangkan dialek Gayo Lues tetap sama dengan tata Bahasa Indonesia. Tata bahasa Gayo Lut sama dengan tata bahasa Bahasa Batak sedangkan tata bahasa Bahasa Gayo Lues sama dengan tata bahasa Bahasa Indonesia.
Sedangkan Bahasa Gayo Lues diucapkan sama dengan Bahasa Indonesia.
2.Dalam Kosa Kata
Kalau tata bahasa mau dikupas tentu sangat memakan waktu dan tempat, dan bukan itu tujuan kita. Yang perlu-perlu saja kita catat, misalnya :
a.Menghitung
Menghitung dalam Bahasa Gayo 1-9 hampir sama atau bersamaan dengan bahasa-bahasa daerah di nusantara ini.
Sebaliknya menghitung mulai 11 dan seterusnya, sama dengan Bahasa Indonesia, kecuali ucapannya agak berbeda.
Contoh :    kelipatan sebagai berikut :
1 =sara            1 (satu) kali        =seger
2 =roa            2 (dua) kali        =non
3 =tulu            3 (tiga) kali        =ntulun
4 =opat            4 (empat) kali            =nopatan
5 =lime            5 (lima) kali        =nlimen
6 =onom            6 (enam) kali        =nonoman
7 =pitu            7 (tujuh) kali        =npitun
8 =waluh        8 (delapan) kali    =nwaluhen
9 =siwah        9 (sembilan) kali    =nsiwahan
10=    sepuluh        10 (sepuluh) kali    =nsepuluhen
11 dan seterusnya sama dengan Bahasa Indonesia.
b.Melihat Jam
Kalau anda ke Gayo Lues, ditanya orang pukul berapa sekarang, maka jangan dijawab dengan Bahasa Gayo. Entah apa sebabnya, melihat jam orang Gayo menggunakan Bahasa Indonesia, sungguhpun Bahasa Indonesia dialek Gayo.
Pukul side besilo win ?    (pukul berapa sekarang dik ?)
Jawaban yang benar    Jawaban yang salah
Pukul tige pak,        Pukul tulu pak
Pukul lime pak,        Pukul lima pak,
Pukul satu pak,        Pukul sara pak,
Pukul due pak,        Pukul roa pak,
Pukul lapan pak,    Pukul waluh pak,
Pukul empat pak,    Pukul opat pak.
dan seterusnya.    Pukul tulu pak,
Terlihat jawaban yang benar memakai Bahasa Indonesia ala Gayo. tige bukan tiga, lime bukan lima, due bukan dua. Orang Gayo biasa mengganti a dalam Bahasa Indonesia menjadi e, di akhir kata, terutama dalam hitung menghitung.
Contoh :
    Bahasa Indonesia        Bahasa Gayo
13    Tiga belas            Tige belas
23    Dua puluh tiga            Due puluh tige
55    Lima puluh lima            Lime puluh lime
72    Tujuh puluh dua            Tujuh puluh due
305    Tiga ratus lima puluh tiga    Tige ratus lime puluh tige
dan seterusnya.    Tige belas

Dari Berbagai Sumber

Kesatuan sosial dalam masyarakat Gayo Lues

Kesatuan sosial dalam masyarakat Gayo Lues
Organisasi sosial yaitu cara-cara perilaku manusia yang terorganisasi secara sosial, karena adanya individu yang merasa terikat oleh aturan-aturan atau adat istiadat tertentu yang mengatur kehidupan kelompok.
Kesatuan sosial dalam masyarakat Gayo Lues adalah :
a.Kesatuan Genealogis/satu daerah
Ada 3 macam yaitu :
1.Keluarga Inti/mealear family
Terdiri atas, suami, isteri, dan anak-anak yang belum kawin.
= Rawan, laki-laki
= Benen, perempuan
= kawin
= anak kandung

2.Keluarga Luas (extended family)
Terdiri dari satu keluarga inti ditambah nenek, kakek, paman, bibi, dan keponakan.
3.Keluarga Keturunan (descent group)
Merupakan kelompok kekerabatan yang keanggotaannya diakui berasal dari keturunan satu nenek moyang.
b.kesatuan territorial atau kedaerahan, terbentuk akibat adanya rasa kedaerahan, misalnya RT, RW, kampung.
c.Kesatuan sosial yang bersifat genealogis dan territorial, terbentuk karena adanya pertalian daerah, misalnya, kuru dan belah, (marga di Alas, nagari di Minang dan huta di Batak, dan lain-lain).
d.Kesatuan sosial yang sekedar berdasarkan religius, misalnya jamaah (Islam) dan atau jemaat (Kristen).
e.Kesatuan sosial berdasarkan tingkat umur (ageclass), misalnya kekanak, seberu, sebujang, tue lelang, jema tue.
f.Kesatuan sosial berdasarkan persamaan jenis kelamin (sexclass), misalnya bines Sena Rebung, Bines Rempelis Mude, Saman Kampung Gumpang, dan lain-lain.
g.Kesatuan sosial berdasarkan paguyuban, yang kelompok kekeluargaan, misalnya Masjelis Taklim, dan lain-lain.
h.Kesatuan sosial berdasarkan perpertimbangan kesatuan tanpa pamrih, misalnya klub bola, PSGL, PSKJ, PSKL, POSPA, REKOT, dan lain-lain.
4.Teknologi, sudah dijelaskan dimuka.
5.Mata Pencaharian, sudah dijelaskan dimuka.
6.Religi, sekarang seluruh orang Gayo Lues, sudah 100% beragama Islam.
7.Kesenian, sudah dijelaskan dimuka.

Saturday, March 9, 2013

Adab Masuk Ke Rumah Orang lain

Adab Masuk Ke Rumah Orang lain
Adab Masuk ke Rumah Orang Lain
a.Ketuk Pintu
Ketuk dulu pintu secara sopan, sebanyak 3 ketukan. Ketukan jangan terlalu keras, jangan pula terlalu lemah. Mengetuk jangan dengan tingkah, biasa saja. Tok-tok-tok. Assalammualaikum. Tidak ada jawaban, ketuk lagi, tok-tok-tok, Assalammualaikum. Tunggu sebentar. Tidak juga ada jawaban, ketuk lagi, tok-tok-tok, Assalammualaikum. Kalau sudah 3 kali tak ada jawaban, itu berarti orangnya tak ada di dalam, atau tidak didengar atau tidak mau menerima tamu. Lebih baik urungkan niat untuk bertamu atau lebih baik pulang, jangan membuka pintu orang, walaupun tidak berkunci. Ini kurang sopan.

b.Waktu yang dilarang untuk bertamu
Waktu tuan rumah sedang atau mau makan. Misalnya pulang dari masjid, pada hari Jumat. Kita tahu orang makan sesudah pulang sembahyang Jumat. Jadi tidak baik kalau dia kita ikuti dari belakang lalu bertamu. Atau pagi hari ketika dia mau pergi ke kantor atau ke sawah, atau ke mana saja. Atau siang pada pukul 12.00 – 13.00 atau sore dari pukul 15.00 – 16.00. kita tahu itu waktu dia makan, lalu kita datang.
Waktu tidur siang. Dahulu memang kebiasaan tidur siang, belum ada. Petani jarang tidur siang, bekerja terus sepanjang hari. Namun pada akhir-akhir ini orang kantor, biasa tidur siang dari pukul 14.00 – 16.00 WIB. Rasanya kalau kita datang, tidur siangnya terganggu gara-gara kedatangan kita.
Larut malam. Kalau petani pukul 22.00 (pukul 10.00 malam) sudah dianggap larut. Jangan lagi didatangi, pasti dia sudah tidur. Kalaupun belum tidur, pasti kondisi tubuhnya sudah lemas.
Tuan rumah baru pulang dari perjalanan jauh. Kalau misalnya tuan rumah baru datang dari Medan misalnya, maka kurang sopan kalau kita bertamu pada larut malam. Kalau kita paksakan juga kehendak, pasti diterima dengan terpaksa, tetapi bila dicap sebagai tamu tak tahu tata krama.

Syarat Bertamu

Syarat Bertamu
Syarat bertamu
Jangan lama. Kalau pembicaraan sudah rampung, maka pulanglah. Memang ada tuan rumah yang suka cerita, ingin agar tetap disitu, tetapi sebaiknya kita harus tahu diri. Masih banyak pekerjaan tuan rumah yang harus dilanjutkan.
Jangan minta minum atau makan, kepada tuan rumah, meskipun kita tahu banyak roti atau kue, atau jenis minuman yang disimpan. Tidak baik, tidak sopan, kurang harga diri kita. Apa yang dihidangkan/kalau ada, itu saja yang kita minum/makan. Sekali lagi jangan bilang begini : “ Oi, mana minumannya, mana kue hari rayanya, mana oleh-oleh yang kau bawa dari Medan ? “. Bicara haluspun di rumah tuan rumah bernilai kasar, misalnya : “ Haus kali ini bang, maklumlah perjalanan kami sangat jauh tolong segelas air putih “. Ucapan ini boleh, kalau memang sangat terpaksa dan tuan rumah adalah kenalan kita.
Jangan terlalu sering melihat ke dapur. Pada masa dulu, anak gadis selalu mengintip tamu dari dapur. Tidak boleh anak gadis ikut duduk dengan tamu orang tuanya, terkecuali tamu yang datang adalah tamu anak gadis tersebut.
Jangan menghabiskan apa yang dihidangkan. Kalau yang dihidangkan kue, atau lemang atau kolak, dan lain-lain, diusahakan jangan habis. Ini kurang baik. Kalau habis juga, karena enak, tidak apa-apa, namun isteri/anak gadis tuan rumah akan mencap kita sebagai “ berlokan ”, rakus. Dilain kesempatan kita tidak disuguhi kue lagi.
Mulut jangan ribut. Kalau makan makanan yang disuguhkan, mulut mengunyah jangan berbunyi, jangan kertak-kertuk, kecuali yang dimakan memang berbunyi seperti kerupuk. Memang sukar, tapi berlatihlah.
Jangan ntorop. Usahakan karena kenyang, perut sudah berisi udara dari perut keluar berbunyi “ OOOP ”.

Friday, March 8, 2013

Adab Bertamu

Adab Bertamu
Adab Bertamu
  1. Ketika saya bertamu, maka saya harus duduk pas di hadapan tuan rumah. Kalau begitu keadaannya maka saya tetap melihat ke depan. Tetapi kalau yang dihadapi itu calon mertua, maka saya, duduk harus membelakangi dapur. Maksudnya supaya saya tidak melihat gadis atau perempuan di dapur.
  2. Kalau lebih dari seorang, maka diusahakan yang agak alim yang menghadap ke dapur. Begitu juga kalau tamunya banyak, harus ada saling kalah-mengalah. Siapa yang merasa alim, tidak mata keranjang, maka dialah yang menghadap ke dapur. Maksudnya agar jangan memanfaatkan waktu yang sempit untuk main mata.

Adab Duduk di Ruangan

Adab Duduk di Ruangan
Adab Duduk di Ruangan
Kalau anda hidup di masyarakat Gayo Lues, maka akan menghadapi bermacam-macam tata krama yang harus anda lalui. Antara lain sesekali anda akan diundang kenduri, misalnya. Harus anda pikirkan bahwa kalau ruangan sudah tersedia jangan anda duduk di sembarang tempat. Ada bagian yang sudah ditentukan peruntukannya.

Thursday, March 7, 2013

Susunan Hidangan

Susunan Hidangan
Susunan Hidangan Kalau kita tuan rumah mau menghidang, yang perlu diperhatikan adalah :
Kalau makan dengan tangan, maka :
1.Nasi pas dimuka tamu,
2.Di kanan tamu air cuci tangan
3.Di kanan tamu setentang dengan nasi, ikan
4.Di kanan ikan, adalah sayur
5.Di kiri, setentang nasi adalah gelas
6.Di tengah nasi tambah. Kalau makan dengan sendok, maka letak gelas di sebelah kanan. Artinya kalau makan dengan tangan, minum boleh dengan tangan kiri, dan kalau dengan sendok, minum harus dengan tangan kanan.

Tata Tertib Makan Bersama

Tata Tertib Makan Bersama
Tata Tertib Makan Bersama
Duduk tertib. Usahakan mengambil sayur dulu. Makan pelan saja, mulut jangan berbunyi. Tuan rumah harus terakhir “ mari ” berhenti makan. Diusahakan tamu duluan mari. Kalau ikan panggang pongkeronya, kalau sebelah sudah habis, jangan di balik lagi, pantang. Jangan “ temora ”, jangan sisakan nasi dalam piring. Nasi harus habis. Jangan “ membersihkan ” gigi dengan benda runcing lain di muka orang. Jangan berkumur di muka orang. Jangan ntorop sesudah makan.-

Friday, March 1, 2013

Adab Memberi Lauk

Adab Memberi Lauk
Adab Memberi Lauk Menurut tata krama Gayo, kepada tamu terhormat, kepada bapak, ibu, mertua, kepada suami, tidak boleh disuguhkan : “ Ekor Ikan ” Kalau ikan emas dipotong dua,rupanya potongan yang bagian ekor sangat banyak tulangnya, jadi kalau ini diberikan kepada orang yang kita hormati, sayang mereka ketulangan. Itu rupanya rahasianya. Pongkero/itak/iwak ayam, ada juga pantangnya pada beberapa bagian yaitu, bagian yang disingkat dengan : K U R I K K=Kiding = kaki, bagian ini sangat kurang dagingnya. Kalau bagian ini kita berikan misalnya kepada tamu kita, sayang dia pasti tidak puas, lebih-lebih kalau tamu kita itu ompong. Sayang. Arti hiasan : kalau kita berikan kiding kepada orang maka orang tersebut kita anggap orang miskin, jalan ke sana, merantau ke sana, cari makan karena di kampungnya tidak ada harta. Jadi terpaksa merantau. U=Uki = meminyakne, bagian ini dianggap kurang sopan saja, walaupun di sana banyak dagingnya. Arti kiasan : kalau bagian ini kita berikan kepada orang lain, maka kita bermaksud memberitahukan orang tersebut orang jahat, suka kawin, suka mengganggu isteri orang, suka mengganggu gadis dan orang yang tidak disukai di dalam kampung. R=Rongok = leher = penggelihne, bagian ini juga tidak atau kurang dagingnya. Kalau kita berikan kepada orang, sayang, daging kurang, sedangkan yang terbanyak tulangnya. Arti kiasan : Dikiaskan sebagai orang yang sering marah, suka berkelahi, suka menyakiti hati orang lain. Senang melihat orang lain susah, susah melihat orang lain senang, orang yang mementingkan diri sendiri, tanpa memperdulikan kepentingan orang lain. I=IMUL/ Bagian dekat dengan dubur. Bagian ini memang banyak dagingnya tapi termasuk juga lobang duburnya. Daging banyak, tapi letaknya persis dibagian yang paling kotor. Kurang disukai orang. Arti kiasannya : Dikiaskan sebagai orang perempuan yang agak liar, agak menjual diri, orang yang berhati baik kepada siapapun. Jadi kalau ada tamu kita perempuan dan kita berikan ini sebagai itaknya sama dengan menunjuk bahwa tamu kita tersebut adalah PSK. K=Kepek/ujung sayap. Bagian ini sangat sedikit dagingnya lebih banyak tulangnya. Jadi sebaiknya jangan diberikan kepada tamu. Arti kiasannya : Bagian ini dimisalkan orang yang sering merantau ke negeri orang sebagai pedagang, pengusaha, pencari ilmu, dan sebagainya. Tetapi kepergian merantau bukan karena miskin tetapi lebih karena di rantau lebih banyak rezeki dan ilmu. Kartu Kuning dan Kartu Merah untuk Tamu Rupanya tidak hanya dalam permainan sepakbola ada kartu, pada masyarakat Gayo Lues dulu juga ada. Kalau ada tamu yang sering datang ke rumah, walaupun tak diundang, setelah makan baru pulang, menurut tata krama Gayo, dia tidak disenangi, tetapi tidak boleh dinyatakan dengan perkataan misalnya kita bilang begini : “ Saudara sering kali datang ke rumah kami untuk makan, kami minta saudara jangan datang lagi ”. Cara ini tentu kasar, tidak boleh begitu tetapi harus dengan pelambang. Kalau dia datang lagi, mula-mula dikasih sayurnya, daun kerpe mulo (genjer). Kalau kita datang, dikasih oraang sayur genjer, artinya kita tidak disenangi. Jangan datang lagi. Kalau datang lagi, maka dikasih sayur daun Akong/lelebu. Ini merupakan kartu kuning. Kedatangan tamu yang tidak disenangi. Kalau datang lagi, maka dikasih sayur batang keladi, tanpa dikasih air jeruk. Batang keladi ini sangat gatal. Ini kartu merah. Kalau datang lagi, maka tuan rumah boleh mengatakan hal yang kasar seperti di atas. Ini sudah dibenarkan tata krama Gayo Lues.