Tuesday, March 19, 2013

Sistem Tindakan Sistem Nilai Budaya Masyarakat Gayo Lues

Sistem Tindakan Sistem Nilai Budaya Masyarakat Gayo Lues
Budaya dalam bentuk ini bersifat konkrit, dapat dilihat dan dapat difoto. Misalnya petani bekerja di sawah, karyawan bekerja di pabrik serta pelajar belajar di sekolah dan sebagainya.
Di Gayo Lues pada khususnya dan Gayo keseluruhan pada umumnya, pekerjaan menentukan orang, atau lebih tepat pekerjaan berdasarkan jenis kelamin. Setiap pekerjaan telah dibagi antara pekerjaan laki-laki dan pekerjaan perempuan. Pembagian bersifat mutlak, artinya suatu pekerjaan untuk laki-laki, tidak boleh dikerjakan oleh perempuan dan sebaliknya. Bila terjadi juga penyimpangan, pekerjaan laki-laki dikerjakan oleh perempuan, atau pekerjaan perempuan dikerjakan laki-laki, pasti mendapat ejekan, tertawaan, cacian, dan atau keprihatinan. Lalu para petua adat atau orang-orang dewasa menelusuri apa sebab musababnya, apakah masuk akal atau tidak. Setelah diselidiki ternyata benar, karena terpaksa, maka petua adat mencari jalan keluar yang terbaik, dan mengumumkan kepada publik sehingga publik maklum dan membantu mengatasi hal tersebut secara bersama.
Pekerjaan yang berat-berat adalah pekerjaan laki-laki dan sebaliknya pekerjaan yang ringan-ringan adalah pekerjaan perempuan.
Kita ambil contoh :
Pekerjaan bersawah.
Pekerjaan laki-laki adalah :
-mencangkul, membersihkan parit, membersihkan pematang, melumatkan tanah, meratakan tanah, menggirik padi, mengangkut padi ke rumah, dan lain-lain.
Pekerjaan perempuan adalah :
-menanam padi, merumput, menyabit, mengangin, dan lain-lain yang   ringan-ringan.
Di luar pekerjaan yang utama di sawah tadi,
Tugas laki-laki adalah :
-menebang ladang, membersihkan ladang, menanam ladang, memelihara hewan, membuat rumah, menganyam atap.
Tugas perempuan adalah :
-urusan masak- memasak, mencari kayu bakar, anyam-menganyam tikar, mengambil air ke sungai, berbelanja ke pasar, menyapu rumah, pokoknya urusan rumah tangga, mengurus anak kecil dan lain-lain.
Tugas bersama, artinya boleh dikerjakan laki-laki dan atau perempuan misalnya menjahit, mengendong anak kalau berjalan jauh, dan yang dianggap patut, misalnya mengurung ayam atau membelah kayu bakar dan lain-lain.
Kalau ada yang mengerjakan tugas yang bukan tugasnya tentu sangat dibenci orang, diejek, bahkan disisihkan dalam pergaulan. Tidak boleh laki-laki memasak, tidak boleh laki-laki belanja ke pasar, tidak boleh laki-laki mencari kayu bakar, tidak boleh laki-laki menanam padi dan lain-lain. Sebaliknya tidak boleh perempuan, menambat lembu, tidak boleh perempuan mencangkul, tidak boleh perempuan menggirik padi, tidak boleh perempuan menganyam atap, tidak boleh perempuan menjala ikan.
Nah kalau terjadi pelanggaran, bagaimana ?
Mula-mula si pelaku ditegor, “ Hai mengapa kamu mencangkul di sawah, padahal suamimu ada ? Mengapa kamu memasak padahal istrimu ada ?”. Bila keadaan demikian maka orang menyelidiki sebab musababnya. Si ibu mencangkul di sawah, karena suaminya sakit keras di rumah sakit. Si bapak memasak karena istrinya pergi ke Kutapanjang, sedangkan anaknya yang masih kecil-kecil mau makan dan belum bisa memasak.
Kalau penyebabnya masuk akal, persoalan tersebut tidak dipermasalahkan, dan tidak boleh dibiarkan berlanjut, harus ditanggulangi. Caranya, kalau misalnya ibu yang mencangkul di sawah tadi seorang janda, anak laki-laki tak ada, maka pemuda kampung harus turun tangan mencangkul sawah si janda sampai selesai tanpa pamrih, tanpa bayaran, tanpa minta makan dan atau minum kepada si janda. Bagaimana kalau pemuda tidak mau mengingat janda ini pelit, suka memarahi pemuda, maka orang-orang tua akan memarahi dan memaksa pemuda membantu dan kalau tidak juga maka orang-orang tua akan membantu si janda ini. Kalau sudah begini keadaannya, si pemuda kampung akan menanggung malu, diejek oleh pemuda kampung lain dan dicap “ merke “ pemalas. Ujung-ujungnya gadis dari kampung lain tidak mau kawin dengan si pemuda model ini. Bagaimana kalau bapak yang memasak tadi karena istrinya sudah meninggal, anak-anak masih kecil-kecil ?. Pemudi kampung harus membantu memasak nasi bapak ini dalam batas waktu satu bulan. Di samping itu orang-orang tua kampung, baik ibu-ibu atau bapak-bapak berusaha mencari istri bapak ini ke kampung lain. Bagaimana kalau dalam tempo sebulan belum juga dapat istri, maka tugas pemudi kampung dianggap sudah selesai. Pemudi lepas dari tanggung jawab membantu. Pemudi tidak dapat dipersalahkan lagi. Kerja masak-memasak, cuci piring dan lain-lain diserahkan kepada famili terdekat.
Yang kita ceritakan di atas adalah keadaan zaman dulu kelihatannya karena pengaruh pergaulan dan perubahan zaman keadaan tersebut mengalami erosi, mengalami perubahan yang nyata dan orang tidak ambil pusing lagi untuk tugas-tugas yang ringan. Orang laki-laki sudah ada yang berani berbelanja ke pasar. Orang laki-laki sudah ada yang berani mencuci pakaian anak-anaknya, orang laki-laki sudah ada yang berani mengangkat beras dari pasar dan lain-lain. Juga sebaliknya perempuan sudah ada yang mencangkul di sawah, perempuan sudah berani menggembala lembu atau kambing dan lain-lain. Para pelaku pelanggaran ini adalah orang yang sudah pernah merantau ke luar daerah. Di daerah lain dilihatnya lain dari di daerah ini. Dilihatnya di Aceh pesisir, laki-laki berbelanja ke pasar, laki-laki memasak, membuat mie, memasak martabak. Dilihatnya yang mencuci di sungai ada juga laki-laki, dan di banyak daerah dilihatnya laki-laki dan perempuan mencangkul di sawah, di ladang dan lain-lain. Pengalaman ini sebagian ada yang diterapkan di daerah ini, sungguhpun masih mendapat tantangan dari masyarakat.
“ Tak malu, laki-laki beli ikan di pasar, tak malu laki-laki beli sayur. Tidak malu perempuan beli parang, tidak malu perempuan beli cangkul dan lain-lain “.
Previous Post
Next Post

0 komentar: