Wednesday, November 14, 2018

URAIAN SINGKAT TENTANG NEGERI YANG BERNAMA GAYO LUES


URAIAN SINGKAT TENTANG NEGERI YANG
BERNAMA GAYO LUES


1. Kekejurunan Patiambang
Daerah yang sekarang dinamakan Gayo Lues dahulu dikenal dengan nama daerah Kekejurunan Patiambang.

Di daerah Gayo, mula-mula terdapat empat daerah kekejurunan yaitu Bukit, Syiah Utama, di daerah danau, Linge di daerah Isaq, serta Patiambang di daerah Gayo Lues. Kemudian bertambah dua lagi yaitu Bebesen di daerah Bebesen sekarang dan Abok di Lukop Serbajadi. Raja / Sultan Aceh memberi derajat yang sama kepada kejurun-kejurun pedalaman ini dengan kejurun-kejurun yang terletak di daerah pesisir. Kepada kejurun di pesisir diberi S.K. hitam di atas putih, yang disebut sara kata dan kepada kejurun-kejurun pedalaman ini diberi sebuah bawar yaitu sejenis pisau komando sebagai tanda kebesaran. Apa sebab kapada kejurun pesisir diberi S.K. hitam di atas putih dan kepada kejurun pedalaman diberi bawar tidak begitu jelas. C.S.H dalam bukunya Het Gajoland en Zijne Bewoners menyebutkan bahwa :
“Kalau pada pimpinan di pesisir Aceh diberikan sara kata atau akta penetap, maka kepada kejurun di Gayo mungkin waktu itu dianggap masih belum memiliki pengetahuan tulis baca, maka masing-masing diberikan bawar, sejenis keris sebagai tanda kebesaran. Para kejurun ini sebagai mana di pesisir Aceh, juga pada setiap upacara resmi tetap memakainya sebagai symbol sekaligus sebagai pakaian kebesaran terselip dalam satu sarung yang panjang”.(1)
Fungsi kejurun ada dua, yaitu ke luar dan ke dalam. Ke luar terutama menghadap Sultan, baik untuk urusan pemberian upeti dan juga bila diperlukan atau dipanggil. Ke dalam urusan dengan reje-reje misalnya menyelesaikan perselisihan antara reje dalam daerah hukum kejurun.
C.S.H dalam buku tersebut di atas menyebutkan tentang fungsi kejurun sebagai berikut :
Fungsi kejurun pada umumnya adalah menyelesaikan sesuatu yang oleh reje-reje sendiri tidak mampu melaksanakannya, terutama untuk mewakili Tanah Gayo di forum luar yaitu menghadap kepada daulat. Maka kejurunlah yang melakukan hal ini sebagaimana seorang presiden dari satu persekutuan di antara kerajaan-kerajaan mini yang ada di Tanah Gayo.
Demikian juga untuk bertindak ke dalam, kejurun harus dapat menyelesaikan perselisihan-perselisihan antara para reje yang ada di daerahnya, misalnya antara anak buah reje yang satu dengan reje yang lain tidak dapat didamaikan antara sesamanya. Selanjutnya untuk menentukan sesuatu pemukiman baru, terutama kalau ada perpindahan keluarga dari tempat lain, diperlukan persetujuan dari kejurun. Untuk ini kejurun berhak atas sembah, bentuk persembahan sebagai tanda kesetiaan di bawah kejurun yang ada. Di samping itu untuk menobatkan seorang reje, atau untuk meresmikan sesuatu kesatuan yang baru yang mungkin karena terpecah dari suku asalnya, atau karena pejabat yang lama meninggal atau oleh karena kepada pejabat yang lama tidak patuh lagi. Untuk semua ini harus ada doa restu (dowa) dari kejurun. Di samping itu kejurun masih memerintah sebagai reje dalam klennya.(2)

2. Susunan Pemerintahan
Susunan Pemerintahan Kekejurunan Patiambang diatur sebagai berikut :
Pucuk pimpinan tertinggi dipegang oleh kejurun, dibantu oleh empat reje dan delapan reje cik.
Keempat Reje adalah :
1. Reje Gele,
2. Reje Bukit,
3. Reje Rema,
4. Reje Kemala (Cane Uken).
Kedelapan Reje Cik adalah :
1. R.C. Porang,
2. R.C. Kutelintang,
3. R.C. Tampeng,
4. R.C. Kemala Darna (Rempelam),
5. R.C. Peparik,
6. R.C. Penosan,
7. R.C. Padang,
8. R.C. Gegarang.
Menurut CSH : reje ini mempunyai pembantu-pembantu sebagai berikut :
Reje (pengulu) adalah orang pemegang adat (edet) di dalam batas-batas Republik-mini yang dikuasainya. Dia menerima kedudukan ini dari pendahulunya yang sudah meninggal dan dengan persetujuan saudere, sebelum dia ditunjuk menjabat pangkat ini bersama-sama dengan mereka semuanya. Ada dua pembantu yang ikut mendampinginya.
1. Tue atau Petue. Ini adalah satu jabatan yang biasanya diwarisi turun-temurun, ditunjuk oleh reje bersama dengan saudere. Dia mengatur dan melaksanakan hal-hal yang ringan-ringan, sedangkan hal-hal yang besar ia serahkan penanganannya kepada reje. Di tempat kediaman saudere yang tidak satu kampung dengan reje, kedudukan Tue bisa menjadi bedel.
2. Demikian juga dengan jabatan ketiga, bukan saja dia harus berpengalaman dan bijaksana, akan tetapi diperlukan seorang ahli di dalam bidang agama islam, disebut Imem. Imem berada di bawah control adat. Pelaksana upacara pernikahan dan upacara kematian beserta segala sesuatu yang berkenaan dengan kedua hal itu, yang disebut Kerje murip, kerje mate, sepenuhnya ditangani pelaksanaannya oleh Imem, walaupun demikian pada pengurusan tingkat penentuan akhir juga berpulang di tangan reje.
Perangkat pemerintah yang menangani masing-masing permasalahan di kalangan masyarakat Gayo, nyatalah bagi kita bahwa skema dari ketiga pejabat di berbagai negeri ini sering tidak sama, berubah-ubah atau ada yang lebih meluas. Umpamanya di Gayo Lues, jabatan reje dipecah lagi di dalam tiga bagian yaitu, Cik, Wakil, dan Mude. Sedangkan cik dan wakil melengkapi seorang pelaksana di bawah bukan hanya Reje Cik, tetapi keempat pejabat lainnya, mude, wakil dan katip menugaskan lagi seorang tue.
Dalam penelitian, masih ditemukan perbedaan-perbedaan setempat, tetapi tiga unsur yang disebut tadi adalah juga merupakan dasar untuk membangun yang lainnya.
Setiap pelaksana dari satu fungsi kekuasaan tidak terlepas dari pengamatan dan bantuan oleh seseorang atau lebih sanak saudara, ini tertera dalam ungkapan-ungkapan adat sebagai berikut : reje mubangta, imem melebe, tue mukatir, yang artinya raja mempunyai beberapa bangta (pembantu), imem mempunyai lebe, tue memiliki katir.(3)

3. Sistem Pemerintahan
Sistem Pemerintahan Kekejurunan Patiambang hampir bersamaan dengan daerah-daerah lain di daerah Aceh, mempunyai ciri-ciri sendiri yaitu berdasar hukum adat yang bersumber dan berlandaskan hukum Islam, berdasarkan Al Qur’an dan hadis.
Kedudukan kejurun, reje, reje cik, adalah sebagai pemangku adat artinya kedudukan mereka bertiga di atas adalah menjalankan dan memelihara berlakunya hukum adat dalam menjalankan pemerintahan.
Kekuasaan berpusat pada reje namun tidak ada pembagian kekuasaan. Walaupun demikian reje tidak dapat berbuat sewenang-wenang karena reje terikat dengan hukum adat yang diawasi secara ketat oleh seorang imam. Imem bertugas mengawasi sejauh mana hukum adat sesuai dan tidak bertentangan dengan Islam. Bila bertentangan maka hukum Islamlah yang dipedomani. Namun demikian ada juga kejadian hukum Islam terkesampingkan dan adatlah yang dipakai. Hal ini sering terjadi bila reje tidak begitu dalam ilmu agamanya, atau berlaku sewenang-wenang.
Seperti disinggung di atas kekuasaan reje bukan tidak terbatas. Pembatasan ini di daerah Gayo terkenal dengan istilah edet :
Sudere genap mupakat
Urang tue musidik sasat,
Pegawe muperlu sunet
Pengulu museket sipet, artinya :
Sudere artinya rakyat banyak, fungsinya genap mupakat. Golongan ini dapat disamakan dengan badan pekerja. Golongan ini harus bersatu padu melaksanankan segala tugas untuk kepentingan bersama.
Urang tue perwakilan yang anggotanya diambil dari orang tua yang telah banyak pengalaman. Fungsinya musidik sesat meneliti segala pekerjaan yang bertujuan untuk kesejahteraan bersama dan juga sebagai penasehat adat untuk reje.
Pegawe golongan masyarakat yang anggotanya diambil dari para ahli dalam pertukangan, pertanian, perkebunan dan lain-lain. Fungsinya muperlu sunet artinya dapat membedakan halal dan haram dan apa yang harus dikerjakan untuk kesejahteraan bersama.
Pengulu pemimpin kampung yang diangkat berdasarkan pemilihan secara langsung yang fungsinya musuket sipet, memimpin masyarakat secara adil tidak berat sebelah, nyuket kuare gere naeh rancung nimang kunecara gere naeh alihen.
Pemerintah di Gayo Lues bersifat otonom tanpa banyak dicampuri oleh Sultan Aceh. Sebagai contoh pelaksanaan hukuman mati. Seharusnya pelaksanaan hukuman mati harus ada izin dari sultan tetapi kenyataannya hukuman mati dilaksanakan juga tanpa sepengetahuan sultan, dengan syarat nanti dileporkan kepada sultan.
Hubungan pemerintah di Tanah Gayo dengan Pusat Pemerintahan Kerajaan Aceh, hanyalah dalam soal-soal penting yang menyangkut kepentingan bersama dan menyangkut kepentingan umum Kerajaan. Hubungan biasa adalah hubungan misalnya dalam memberikan “upeti” yang dilaksanakan setiap waktu yang ditetapkan oleh Sultan. Hal-hal yang menyangkut kepentingan umum seperti peperangan melawan musuh dari luar, seperti yang terjadi dengan perang Aceh 1873, maka seluruh rakyat Gayo berikut rajanya serentak terjun dalam perang melawan kolonialis Belanda yang secara langsung dihadapi bersama.(4)

4. Penghasilan Para Pejabat
Penghasilan-penghasilan reje adalah sebagai berikut :
Salah = denda karena pelanggaran edet. Seperti di daerah Aceh, inipun merupakan sumber terpenting bagi pemuka-pemuka itu. (het Gajoland halaman 82) ;
Pemasukan atau kemasuken = hadiah untuk menjadi anggota suku lain yang dibayar oleh orang yang diterima itu kepada Reje baru, yaitu secara resmi lime teil atau sepuluh teil dan di samping itu disembelih seekor kambing atau kerbau. (het Gajoland halaman 88) ;
Peceren = hadiah kepada Reje dalam hal ini pengucilan dari masyarakat kesukuan seseorang anggota suku atau keluarga buar (saudere), jumlah berubah-ubah antara delapan dan sepuluh ringgit, nominal lime teil. (het Gajoland halaman 87) ;
Pendis = uang yang dibayarkan (beberapa ringgit) kepada pejabat-pejabat dalam hal ini pengangkatan seseorang budak. (het Gajoland halaman 269) ;
Penesah = uang penesahan (5 – 10 ringgit yang dibayarkan kepada Reje oleh ayah angkat dalam hal ini terjadi pengangkatan (menyahan) supaya Reje mengakuinya sebagai anggota suku atau keluarga. (het Gajoland halaman268) ;
Penangkap = uang (resminya berjumlah 5 teil) yang dibayarkan kepada Reje sebagai merestui penerimaan seorang menantu (biasanya seorang asing) ke dalam hubungan kesukuan. (het Gajoland halaman 270) ;
Pekeberen = uang (beberapa ringgit) yang dibayarkan kepada Reje janda yang hendak kawin dalam hal ini terjadinya perkawinan dengan seorang janda (ngalih) jika seorang laki-laki hendak kawin itu secara resmi menyatakan maksudnya. (het Gajoland halaman 82 pada catatan) ;
Penomen = uang (biasanya berjumlah 10 ringgit) yang dihadiahkan kepada Reje supaya ia tidak mengunakan haknya untuk mengadili sesuatu perkara secara pribadi dan menyerahkan urusannya kepada seorang tue (yang lebih murah). (het Gajoland halaman 82) ;
Tingiren = uang yang dibayarkan kepada Reje dalam sesuatu urusan tertentu untuk memperoleh restunya (keizinannya) (meniro doa) umpamanya jika hendak berperang, mendirikan kampung baru, membunuh orang yang bersalah dalam hal ini menuntut bela, dalam hal perkawinan, pindah rumah ke kampung lain, menyembelih hewan korban, menanam batu nisan, dsb.
Cap ku Reje = cap untuk Reje, yaitu dada (dede) kerbau yang disembelih dalam kenduri yang diserahkan kepada Reje, sebagai gantinya kadang-kadang dibayarkan uang seringgit (regeni dede). Bandingkan ‘het Gajoland halaman 82 dan 274 ;
Usur = (bahasa Arab : ‘usyr yaitu sepersepuluh) – nama untuk berbagai-bagai cukai :
1. Uang jerih payah sebanyak 1 – 2 ringgit yang diserahkan oleh ayah pengantin laki-laki kepada Reje pengantin perempuan dalam hal ini dilakukan sesuatu pernikahan (juga di namakan cap usur dan dewasa ini berjumlah f 1,50 ; di Tanah Alas dinamakan adat kawin). Bandingkan ‘het Gajoland halaman 83 dan 274 ;
2. Cukai yang di masa dahulu dibayarkan kepada tempat-tempat cukai Aceh sebagai pajak pengeluaran kerbau (juga dinamakan Edet) ;
3. Pajak yang menurut adat harus dibayarkan oleh orang-orang Gayo kepada Sultan Aceh, dikatakan, bahwa usur itu harus dibayarkan tiga tahun sekali ;
4. Pajak penjualan candu secara kecil-kecilan (seringgit untuk setiap bulatan).
Penghasilan-penghasilan utama para imem ialah :
Ha’ nikah atau jari malim = jerih payah (dewasa ini berjumlah f 1,50) yang dibayarkan oleh ayah pengantin perempuan dalam hal sesuatu pernikahan. (het Gajoland halaman 274) ;
Ha’ telekin = jerih payah (kira-kira f 0,25) untuk membacakan ‘talkin’ seseorang ;
Sedekah atau penyerahen atau permungen = uang atau hadiah yang dibayarkan oleh pengantin perempuan dan laki-laki kepada masing-masing imem mereka sebagai jerih payah karena telah mengajarkan mereka tata-cara perkawinan selama beberapa hari sebelum dilangsungkan pernikahan(berguru). Lihat ‘het Gajoland halaman 275.
Jakat (Zakat) = yang dibagi-bagikan oleh imem kepada mereka yang mempelajari kewajiban-kewajiban agama yang dinamakan fakir miskin.
Dari pitrah (Fitrah) = ia menerima lebih kurang 1/3 bahagiannya (‘het Gajoland halaman 86).
Oleh karena tue mendampingi reje dalam tugas-tugas jabatannya, maka jelaslah bahwa iapun menerima penghasilan yang diadatkan seperti yang diperoleh Reje, namun peraturan yang terperinci mengenai hal itu tidak ada. (‘het Gajoland halaman 85). (5)


5. Penggantian Kejurun dan Reje
Penggantian kejurun dan reje hampir sama. Kejurun yang mangkat biasanya digantikan oleh anak laki-laki yang tertua. Demikian juga penggantian reje. Tetapi tidak secara otomatis masih ada pertimbangan lainnya.
Sebagaimana telah kita lihat di bagian-bagian terdahulu, bahwa Tanah Gayo tidak lebih dan tidak kurang, sama saja dengan keadaan di Aceh, bahwa semua jabatan atau pangkat cenderung diwariskan kepada kerabatnya sendiri, tidak peduli apakah mempunyai kemampuan dan memiliki pengetahuan, yang sebenarnya adalah syarat yang mutlak harus dimilikinya. Yang pasti adalah pewarisan jabatan reje-reje, terutama ‘jabatan kejurun’. Seorang kejurun atau reje akan digantikan oleh anaknya ; namun tidak harus oleh anak yang tertua, akan tetapi oleh seorang yang memiliki tanda-tanda bertuah (mutuah). Siapa yang bertuah, dialah dengan kesepakatan saudare bersama-sama, yang ditentukan dengan bantuan ramalan seorang guru – bukan guru di bidang agama, tetapi ahli nujum yang pandai melihat tanda-tanda. Mengertilah kita bahwa sedikit ada syarat bagi seorang calon kejurun, dan reje, yaitu lebih ditentukan oleh faktor tuah yang dimilikinya. Memilih si bungsu (bensu) adalah juga merupakan suatu kehormatan dari pada anak yang tua (si ulubere), begitu juga halnya dengan pembagian harta pusaka, biasanya anggota famili lainnya memberikan perhatian kepada sibungsu. Anak di bawah tidak boleh memegang jabatan, dalam keadaan demikian ini biasanya anak tertualah mendapat kehormatan terlebih dahulu untuk bertindak sebagai Bedel (wakil).
Andaikata seorang kejurun atau seorang reje tidak mempunyai putra seorangpun, ini tergantung lagi kepada tuah, siapa di antara salah seorang sepupu atau keponakan atau putra saudara yang telah meninggal dunia, yang mampu menyandang jabatan ini (sahan si nguk mah nahma).
Kalau seorang reje meninggal dan sebelum penguburan berlangsung dapat diangkat seorang penggantinya, maka sang pengganti pejabat itu bersama-sama diarak ke kuburan oleh semua famili serupa dengan jenazah. Di kuburan orang menempatkannya di kepala atau di kaki kuburan dan kemudian setelah selesai penguburan kembali diarak pulang ke rumah. Ini disebut iperarakan. Acara penggantian ini disebut mawen (ipawen) artinya dirangkaikan, yaitu, meneruskan pangkat dan jabatan reje tanpa ada peresmian lagi. Cara ini akan sangat menghemat biaya. Kalau melalui pemilihan akan memakan waktu permusyawarahan yang lama, maka jabatan ini dianggap kosong dan penggantiaannya dianggap sebagai reje baru ; pengangkatan begini harus dilakukan dengan ‘dowa’ dari kejurun, yang tentu memerlukan banyak uang guna membiayai peresmian. Dalam keadaan begini reje baru harus diperkenalkan kepada teman sejawat dalam daerah itu, dengan melakukan persembahan berupa kain putih, bajudin namanya. Pada akhirnya pada acara peresmian (neiken reje) dilaksanakan satu pesta (kenduri) sekurang-kurangnya dengan memotong seekor kerbau. Pada pemilihan-pemilihan yang diwarnai kericuhan antara anak-anak, mawen tidak mungkin dilakukan maka yang terpilih sama dengan memilih reje baru.
Di Gayo Lues penggantian pada setiap kematian seorang reje, harus dapat membagikan delapan potong kain putih (empat kepada Kejurun Patiambang, empat lagi kepada teman sejawatnya). Ini namanya ‘mate berbajudin leng bersalen, hangat pepakiren’, artinya ‘kalau (seorang reje) meninggal, bajudin dituntut, serahkan sepesalin yaitu dua potong kain putih kepada anggota famili yang lain. Apabila dalam keadaan demikian republik ini tetap panas dengan sering datangnya bahaya umpamanya lalu sanak saudara memutuskan “nahmanya” (kebesarannya), kebesarannya tidak sesuai harus diambil dan jabatan presiden ini diberikan kepada orang lain.
Dalam teori, seorang kejurun baru harus mengambil surat pengangkatan dari Daulat Aceh. Dengan sendirinya bisalah kita artikan bahwa oleh semua kejurun diseluruh pesisir Aceh selama berabad-abad sudah tidak teratur pelaksanaannya, dan tentu pikiran dan prilaku kejurun yang begitu, sedikit banyaknya merasuk juga ke dalam pikiran dari ke ‘empat Kejurun’ yang ada di Tanah Gayo. Dengan contoh dan tradisi yang demikian, pantas mereka berpendapat, tanpa mendapat persetujuan dari Aceh pun kita bisa aman tinggal di daerah ini.
Tentang pengangkatan kejurun tidak perlu ada istilah mawen karena ‘nahma’ itu sendiri tidak ikut mati, walaupun pengalihan kepada yang lain sebelum penguburan terjadi belum dilaksanakan. Tanpa melakukan upacara pengangkatan, para famili harus bersepakat dengan para reje yang ada dalam daerah itu untuk menunjuk seorang pengganti dari kejurun yang meninggal. Di mana-mana orang tidak ada berkata “neiken kejurun” serupa dengan “neiken reje” karena dilaksanakan diam-diam seolah-olah bahwa penetapan kejurun datangnya dari atas dan bukanlah atas kehendak rakyat. Di Gayo Lues pengangkatan seorang kejurun biasanya sama dengan pengangkatan seorang reje. Dari penggantian seorang kejurun yang meninggal dunia, edet menuntut enam belas potong kain putih untuk bajudin, yang dibagikan kepada dua belas orang pengulu yang dianggap memangku jabatan asal (pengulu si due belas). (6)
6. Jumlah Penduduk Kekejurunan Patiambang
Tidak dapat ditentukan dengan pasti berapa jumlah penduduk Gayo Lues pada waktu kedatangan Belanda tahun 1904.
Menurut M.H Gayo penduduk Gayo Lues pada tahun 1904 adalah 11.500 orang.
Dalam pada itu seorang penulis Belanda Dr. A J. Piekaar yang menjadi pegawai Pemerintah Kolonial Belanda di Aceh dalam bukunya menulis bahwa jumlah penduduk Gayo dan Alas menjelang penyerbuan Jepang ke Aceh bulan Maret 1942, adalah kira-kira 72.500 orang, yang terdiri dari 29.000 orang penduduk Gayo Laut, 23.000 orang penduduk Gayo Lues, dan 20.000 orang penduduk daerah Alas.
Keadaan yang digambarkan oleh Piekaar tersebut adalah 38 tahun setelah penyerbuan Belanda ke Tanoh Gayo dan Alas tahun 1904, untuk dapat mengetahui jumlah penduduk Gayo dan Alas pada saat penyerbuan Belanda tahun 1904 itu dapat dipergunakan berbagai-bagai cara. Ada orang berpendapat bahwa berdasar perkiraan pengalaman perkembangan penduduk, dapat diketahui bahwa dalam masa kira-kira 35 – 40 tahun, perkembangan penduduk bertambah menjadi kira-kira 100 %. Jika pendapat ini dapat dipergunakan maka jumlah penduduk Gayo dan Alas pada waktu penyerbuan Belanda tahun 1904 dapat diperkirakan yaitu ½ x 72.500 orang menjadi kira-kira 36.250 orang. Antaranya kira-kira 14.500 orang penduduk Gayo Laut, kira-kira 11.500 orang penduduk Gayo Lues dan kira-kira 10.000 orang penduduk daerah Alas. Dalam jumlah ini belum termasuk penduduk daerah Serbajadi. (7)

WARUNG DI ATAS BUKIT

WARUNG DI ATAS BUKIT
OLEH : Drs. H. M. SALIM WAHAB

PADA MASA BELANDA (1927 – 1937) DI GAYO LUES PERNAH ADA WARUNG DI ATAS BUKIT ISINYA ADA NASI GORENG, ROTI, DAN MINUMAN KALENG. WARUNG TIDAK DIJAGA. SIAP MAKAN BAYAR, KALAU TAK ADA UANG, ISI FORMULIR, LETAKKAN DI ATAS MEJA, ATAU JEPIT DI DINDING. AWAL BULAN POTONG GAJI.

Barangkali judul di atas dianggap orang lelucon saja, atau sesuatu yang tak masuk akal, atau perbuatan orang gila. Tetapi benar adanya. Ada warung di kaki gunung Burni Peparik, ada warung di kaki gunung Burni Leme, ada warung di Burni Palok, ada warung di Burni Badak. Isi warung nasi goreng, minuman kaleng dan roti kering.

Nasi goreng dijual agar jangan cepat basi, minuman kaleng dijual agar tahan lama dan juga roti kering yang tak cepat berjamur. Tujuan pembuatan warung ini agar serdadu yang operasi setiap hari jangan kelaparan, jangan kehausan. Serdadu yang operasi berangkat pagi pulang sore, berangkat sore pulang pagi dst. Serdadu yang operasi tidak membawa perbekalan yang lengkap. Supaya jangan kelaparan, kehausan, didirikanlah warung, di setiap tempat yang strategis jauh dari tangsi. Semula memang hanya untuk serdadu Belanda, tetapi lama kelamaan juga untuk rakyat jelata.
Pagi-pagi sekali orang suruhan serdadu Belanda, mengantar nasi goreng, roti, dan minuman kaleng ke setiap warung. Sesampai di warung, petugas tadi menyusun dengan rapi, nasi goreng, kaleng minuman dan roti pada tempat yang sesuai. Kemudian para petugas pulang, dan mengunci warung. Kunci diletakkan di tempat yang aman dan mudah dilihat orang. Ada juga pintu dikunci dengan kayu, tapi kodenya/cara membukanya diberitahu dengan tulisan. Kalau semua dianggap sudah selesai, serdadu dengan orang suruhan pulang ke tangsi.
Jadi warung tidak dijaga?. Betul, warung tidak ada penjaganya. Untuk membantu pelanggan, di sana telah ada daftar harga. Misalnya nasi satu piring 10 sen, ikan satu potong 5 sen, minuman kaleng 1 kaleng 2 ½ sen, dsb. Dengan demikian orang dapat makan dan minum sesuai dengan isi kantongnya, atau kemampuannya. Misalnya pelanggan masuk, lalu makan dan minum. Dia sudah tahu berapa uang yang harus dibayar. Misalnya dia makan 2 piring nasi dan minum 2 kaleng, maka dia harus bayar 2 x 10 sen + 2 x 2 ½ sen = 20 + 5 sen = 25 sen. Uang dimasukkan ke dalam kotak yang sudah tersedia. Oh itu untuk orang yang ada uang, bagaimana kalau uang tak ada. Jangan takut, ada caranya. Sesudah makan dan minum, lalu dia tulis makanan dan minuman yang sudah dihabiskannya, di satu formulir yang sudah tersedia. Lalu formulir ini disimpan di tempat yang sudah disediakan. Itu kalau pegawai, kalau rakyat biasa yang tak bergaji bagaimana. Jangan binggung, jalan masih terbuka. Misalnya ada seberu/sebujang sedang berutem, kelaparan dan kehausan. Silakan mampir, makan dan minum terus, yang penting harus diingat apa yang dimakan dan diminum. Nanti sore, lapor kepada petugas, dan bulan depan bayar. Bila bulan depan pun uang tak ada, dipakai cara yang agak kasar, yaitu datang ke tangsi, dan jumpai komandan jaga ;
“Pak, hari Minggu lalu saya makan dan minum di warung Burni Peparik. Nasi goreng 2 piring, minuman kaleng 2 buah. Saya tak punya uang pak, bagaimana caranya ?”
“Kau harus membersihkan / mencangkul tangsi seluas 25 m² “
Atau kalau keberatan mencangkul boleh pilih yang lain, misalnya membawa kayu masak 10 jangkat, atau boleh juga memikul beban serdadu yang operasi selama seminggu, dsb.
Lalu timbul pertanyaan, apakah tidak ada penipuan, pencurian, penggarongan. Misalnya, dia makan 4 piring ngaku 1 piring, minum 5 kaleng, dibilang 2, dsb. Atau roti dibawa beberapa bungkus.
Hampir 10 tahun keberadaan warung ini, hanya ada satu orang yang menipu, menurut pengarang buku ATJEH, H. C. ZENTGRAAFF yang diterjemahkan dengan judul buku Kisah-kisah Lama Di Daerah Gayo Lues, hal. 59, dilakukan oleh seorang dokter hewan yang lebih banyak sifat hewan di hatinya daripada sifat manusia. Dalam 10 tahun, beribu pelanggan keluar masuk warung yang menipu hanya 1 orang, luar biasa. Sukses, mengagumkan. Dasar pemikiran setiap pelanggan adalah kejujuran dan itikat baik. Betul-betul tertanam di dalam hati. Semboyan umum pada waktu itu adalah :
“ ASAL JANGAN SAYA YANG MENIPU “
Dan di dinding setiap warung tertulis kata mutiara,
“ SAYA TAK AKAN MEMBOHONGI HATI NURANI SAYA “
Kalau saya minum 2 kaleng, saya bilang satu kaleng, maka saya telah membohongi hati nurani. Hati nurani tak dapat dibohongi.
Nah, sekarang sudah banyak orang Gayo Lues yang kaya, yang dianggap mampu membuat warung ala Belanda tersebut. Investasi perlu ditanam, dan kalau melihat warung Belanda tersebut, untungnya sungguh menjanjikan, mengiurkan !.
Caranya, tak usah malu-malu ikuti saja cara warung Belanda. Kalau boleh saya mengusulkan satu dibuat di BUKIT CINTA, Blangtenggulun. Pada hari minggu atau hari besar lainnya tempat ini penuh muda-mudi, lebih-lebih waktu bulan muda. Satu lagi di BERAWANG LOPAH, di BLANG TASIK, di BLANG SERE, di KALA PINANG, di ATU PELTAK, dan di KACANG MINYAK arah Pining.
Ada 3 pihak yang beruntung, yaitu penanam modal, untung besar menanti, rakyat sebagai pelanggan, dan penambahan PAD Pemda.
Ah, itu teori. Prakteknya bagaimana. Bisa-bisa, bukan saja nasinya habis, minuman habis, roti habis, juga warungnya bisa hilang. Tapi mari kita coba dulu, jangan pesimis. Belanda yang kafir kok bisa, kita yang muslim kenapa tidak.

Saturday, June 1, 2013

Sene i Ujung ni Kampung III, ari jamur ton besene

KUNUL SARA DUK RATIP SANGUK NYAWA SARA PELUK
Ku sEren bangne tubuh rembege ni ku sagi ni rering jamur ni,
kadang mera kasE saudere te cerite-cerite i was jamur rerampE ni.

Si gEh manE bertajuk kertas...
Si manE lepas bertajuk renggali...
==si geh ari toa bertajuk penen, sibeluh ku uken bergenit rantE.
ike sunguh ko merasa denem, kirim nong lepat sara tape. kati i rebus deba i goreng..
==tajuk kepies mu giara ku emah
giara teridah i simpang ni dene
serlo padih dengan gi telas, lagu si ramas i was ni ate

Reje, muah kedie gele i gumpang., nge sawah ke die uwe ea ku porang?
==gere mide uah ni pinangruesqu mantong i ladang, ulu rintah..

ku serinen ku, bewen ne rata,si ara i teluk ranto, enti ni lupe ken deso ni uyem,urum tauk ni imo klik kene kalang i,tanah gayo.....
====Lo penah lupe , singkih kuen muninget, singkih kri pe terbayang,.

ku amatan suling ku denang bang sara lagu,kati lale bang rembege rues ni
:MEH KEPERAS BANGKONA LUNI, MEHBANG KO ILI KONA TUBE.

kayuh perau ku kayuh beluh gere neh berluge

Hejeb rede mi ko hejeb ku anggap ujien arituhen... ruluh mutik enge ruluhmu tauh ku duduk ni tenge...
dele pedih mamur ni lauh sayang tubuh pedih rembege supu numah nge meh turuh male beluh mu reta gere...

Ke mudemu i lah ni dene....cerak i ko ke i len aku debar debur rasa jantung ku....kose aku nunelen ate.........

mukale ken ulen, sawahan ku bintan, ike denem ken uyem desooo lagu bersebuku,
==i serab laut ho ara kayu muah, gre ke ko sigah siro berjunjani....

Monday, March 25, 2013

Sistem Pengetahuan

Sistem Pengetahuan
Melalui sistem pengetahuan, manusia mampu beradaptasi untuk menyesuaikan hidupnya dengan alam sekitarnya dan juga manusia mampu meningkatkan produktivitas kebutuhan hidupnya, misalnya meningkatkan produktivitas di bidang perburuan, penangkapan ikan, peternakan, dan pertanian.
Khusus untuk gayo Lues yang terletak di daerah pegunungan berhutan lebat mempunyai kekayaan sendiri berupa binatang hutan, baik yang dapat dimakan atau tidak seperti rusa, kijang, badak, gajah, mawas dan lain-lain. Dari semua binatang itu yang paling disenter manusia adalah rusa dan kijang. Kedua jenis binatang ini sering diburu, sangat disukai orang dagingnya. Namun sistem perburuan sejak zaman dulu masih memakai sistem yang sama, atau konvensional, yaitu dengan memakai jasa anjing. Kepala perburuan disebut pawang, seorang yang ahli dalam mencari tempat rusa, dapat menjinakkan rusa dalam arti rusa tidak akan berlari jauh, rusa lari hanya di sekitar radius yang telah ditentukan pawang. Sebelum berburu, pawang terlebih dahulu membacakan beberapa mantera, dan kepada orang yang ikut berburu diberikan beberapa syarat misalnya tidak boleh takabur, tidak boleh membunuh binatang yang tidak diburu. Kalau yang diburu rusa, lalu berjumpa dengan kijang, atau kancil, atau babi, maka binatang ini dibiarkan saja, tidak boleh dibunuh. Jumlah anjing pemburu, biasanya + 10 ekor dan seekor ditunjuk oleh pawang sebagai ketua.
Kalau misalnya, pawang menyakini di suatu tempat ada binatang buruan, maka dia memerintahkan anjing mencium bau binatang buruan di tanah. Anjing tahu di mana rusa berada, dan pawang memerintahkan anjing-anjing mengejar rusa. Dalam tempo beberapa jam biasanya rusa dapat ditangkap.
Daging rusa dibagi kepada orang yang ikut berburu, dengan syarat orang yang pertama kali menombak rusa tersebut dapat sebuah paha. Kepala rusa diberikan kepada pawang dan hati diberikan kepada anjing-anjing yang ikut berburu.
Satu syarat dalam pembagian daging buruan adalah siapapun orang yang tak ikut berburu tapi ikut melihat rusa yang dikejar, harus dapat bagian daging. Syarat lainnya, kalau boleh daging tidak diperjualbelikan.
Sistem pengetahuan ini dapat digolongkan sebagai berikut :
a.Dalam Bidang Penangkapan Ikan
Daerah Gayo Lues terletak di pegunungan. Ini artinya bahwa di pegunungan sungai kecil-kecil, karena hanya berupa hulu dari sungai yang besar-besar.
Daerah Gayo Lues adalah hulu sungai Tripe, inilah satu-satunya sungai yang agak besar di daerah ini. Karena itu penangkapan ikan tidak berkembang di daerah ini. Dapat dikatakan ikan hanya ditangkap dengan alat yang sama dari masa-ke masa, yaitu dengan jala, pancing. Ada juga penangkapan ikan dengan alat lain seperti tangguk, tapi hanya kecil-kecilan. Jenis ikan di daerah Gayo Lues juga terbatas seperti gegaring, denung, bado, ikan mas, maut dan lain-lain. Sekarang ini banyak orang membuat kolam dengan memelihara ikan mas, maut dan mujahir. Pokoknya dalam bidang perikanan belum memakai alat tangkap yang mutakhir/modern.
b.Dalam Bidang Peternakan
Daerah pegunungan yang dingin, biasanya tanah miring, dengan kemiringan sampai 45º. Tanah yang landai, rata, sangat kurang jumlahnya. Ini berarti lapangan tempat hewan mencari makan cukup luas karena daerah tersebut tak dapat dipergunakan untuk pertanian. Karena luasnya daerah tempat hewan cari makan, maka pada umumnya hewan dilepas saja, suruh cari makan sendiri, tanpa digembala. Orang kadang-kadang hanya melihat kerbaunya sebulan sekali. Memang benar ada juga yang mengadangkan lembu, kambing, domba, dan lain-lain, tapi jumlahnya sangat sedikit. Dengan membiarkan hewan itu saja dia gemuk-gemuk untuk apa susah-susah mencari makanannya, dan mengandangkannya. Boleh dikatakan teknologi untuk meningkatkan hasil ternak masih belum ada, masih memakai teori lama. Hasil yang dapat diharapkan dari bidang ini hanya dari hasil penjualan kerbau dan lembu, sedangkan kambing, biri-biri hanya untuk keperluan sendiri.
c.Dalam Bidang Pertanian
Pertanian yang diandalkan di daerah ini hanya sawah dan ladang. Boleh dikatakan sawah tidak mencukupi. Maklumlah penduduk semakin bertambah, sedangkan areal persawahan masih tetap. Akibatnya timbul masalah tetap tinggal di daerah ini, dengan ketentuan siap menghadapi kelaparan, atau pindah ke daerah lain yang areal persawahannya luas. Pada umumnya orang memilih pilihan kedua. Daerah yang dipilih adalah Aceh Tengah, Bener Meriah, Aceh Tenggara, Aceh Timur, dan Tamiang.
Pengolahan sawah dapat diuraikan sebagai berikut :
Pada umumnya sawah berpaya, tumbuh rumput tinggi. Untuk ini mula-mula dikerahkan beberapa ekor kerbau ke sawah ini. Kerbau-kerbau ini diusahakan berkeliing petak sawah pada pagi hari kira-kira 2 jam. Dalam bahasa Gayo Lues disebut nlajang. Pekerjaan mengusir kerbau di petak sawah, disebut ngoro. Bila tanah sudah lumat, maka barulah manusia turun menata sawah untuk siap ditanami. Pengolahan tanah biasa dilakukan dengan memakai cangkul.
Kalau perlu urutan pengerjaan sawah di Gayo Lues kita urutkan sebagai berikut :
Sawah yang rumputnya tinggi-tinggi, maka langkah pertama nlajang.
Sawah yang rumputnya tidak tinggi, maka langkah pertama mencangkul.
Langkah berikutnya nerlis,membersihkan pematang.
Mencangkul kedua kalinya,
Ngoro lagi
Mematal/memperbaharui pematang
Memerjak    menginjak-injak tanah supaya lumat.
Murulah        meratakan tanah.
Menanam padi    Munomang
Muruah        menyiangi rumput
Membersihkan pematang
Memeo        mengusir burung.
Munuling    memotong padi.
Meminuh        mengumpulkan padi.
Njik        merontokkan padi.
Munangin    mengangin padi biar bersih
Mutuyuh        membawa padi ke umah/rumah
d.Dalam Bidang Perkebunan
Perkebunan belum menggembirakan hasilnya masih belum dikelola dengan baik. Tanaman perkebunan yang utama adalah kopi, dan tembakau. Dari kedua tanaman ini tembakaulah yang banyak membantu ekonomi rakyat. Hasilnya dijual ke luar daerah terutama ke Aceh Barat-Selatan, dan ke Sumatera Utara.
Akhir-akhir ini memang pemerintah sangat mengalakkan perkebunan ini dengan membantu bibit dan biaya pengolahan. Tanaman yang digalakkan adalah kopi, coklat, dan pisang. Namun hasilnya tentu belum kelihatan.
e.Dalam Bidang Perdagangan
Mungkin, sekali lagi mungkin, karena modal kurang pada awalnya, maka orang gayo Lues tidak banyak terjun ke dunia perdagangan. Dari dahulu perdagangan di Gayo Lues, dimonopoli oleh pendatang. Warung misalnya, bertebaran di kota Blangkejeren, tetapi tidak satupun kepunyaan orang Gayo Lues. Hampir seluruhnya dikuasai       “ urang awak ”. warung yang menjual mie dan martabak dikuasai oleh “ awak geutanyo ”, toko emas dikuasai oleh “ halak kita ”. Ketiga pendatang ini yang mengatur dan menguasai perdagangan daerah Gayo Lues. Namun demikian, akhir-akhir ini anak negeri mulai bergerak di bidang perdagangan kecil-kecil, seperti tokeh kerbau, lembu, dan barang kelontong.

Alat Transportasi

Alat Transportasi
Alat Transportasi
Lumpé    = untuk menghubungkan antara suatu tempat di seberang sungai, dibuat sebuah alat yang disebut lumpé. Lumpé adalah rentangan dua utas tali dari dua tempat seberang menyeberang sungai. Dibuat dari dua rentangan tali rotan yang kuat, diatur sedemikian rupa sehingga orang dapat menyeberang dari satu tepi ke tepi lain.
Penyeimbang, agar tali jangan lari, bambu panjang diikat dan langsung kena ke sungai.
Sekarang titi/lumpé ini sudah menggunakan tali besi/kawat.
Jangkat    =Alat yang dibuat dari kulit kayu yang kenyal, kuat untuk mengangkat dan atau mengangkut kayu api dan atau padi, atau beras. Jangkat ini dapat dibayangkan seperti ransel tentara, atau ransel pramuka, dan juga sekarang banyak dipakai petualang. Pemakaiannya mudah dan praktis.
Amung    =Alat yang dibuat jalinan rotan yang sudah diolah rapi/diraut atau bambu yang sudah diraut juga. Bentuknya seperti keranjang. Ke dalam amung ini dimasukkan barang yang akan diangkat ke tempat jauh.
Jujung    =Benda yang akan diangkat diletakkan di atas kepala, seperti padi di dalam karung. Bahasa Indonesianya junjung. Benda-benda panjang dan licin, seperti bambu, jarang dijunjung.
Arang    =Benda di letakkan di atas pundak, benda yang biasa diarang adalah benda yang panjang, seperti bambu, kayu api dan lain-lain.
Jelnang    =Biasanya anak-anak yang berumur 3 – 5 tahun diletakkan di atas pundak. Si anak memegang kepala bapaknya dalam perjalanannya yang agak jauh. Kaum ibu jarang menggunakan alat jelnang ini.
Temeng    =Mengangkut barang dengan satu tangan saja, misalnya mengangkut keranjang dan lain-lain.
d.Alat penangkap ikan, adalah :
Jele
Cerkap
Durung
Kik
Jao
Tangil
dan lain-lain
e.Alat penangkap burung, adalah :
Jaring
Jangki
Ontang
dan lain-lain
f.Alat berburu, adalah :
Jaring
Kunyur
dan lain-lain

Keben dan Manah

Keben dan Manah
Keben dan Manah
Di atas sudah diuraikan tentang bagunan orang Gayo yaitu rumah. Selain dari itu masih ada lagi bagunan seperti keben dan manah.
Keben, bangunan terbuat dari tepas, dan atau bukit kayu besar, bentuknya pas seperti silinder besar, dengan garis tengah kira-kira 1 ½ meter, tinggi 2 – 2 ½ meter. Gunanya untuk menyimpan padi, letaknya di atas rumah, atau di samping rumah.
Manah, bangunan menyerupai rumah kecil, dengan ukuran 3 – 4 meter, dan tinggi 2 – 3 meter. Di atas ada loteng, tempat pemuda tidur malam. Bangunan ini tidak punya tingkep (jendela), dan sebelah pinggir adalah pintu kecil untuk memasukkan/mengeluarkan padi. Pintu ini berukuran ½ x 1 meter. Manah tempat padi orang kaya, sedangkan keben tempat padi orang miskin. Letak manah di luar rumah dan tidak dijaga, hanya mengandalkan kunci saja.

Rumah Orang Gayo

Rumah Orang Gayo
Rumah Orang Gayo
Rumah pada umumnya didirikan untuk 6 - 7 keluarga. Rumah untuk perseorangan atau perkeluarga tidak boleh didirikan, Tinggi rumah + 2 – 3 meter dari atas tanah. Untuk mendirikan rumah diserahkan kepada tukang yang disebut utus. Alat utus yang utama adalah beliung, cekeh, gergaji, pat/pahat dan lain-lain. Bagian rumah yang terpenting adalah tété (lantai), rering (dinding), dan supu (atap). Semula semua bahan dibuat sedemikian tanpa paku, besi, tapi memakai paku yang dibuat dari bambu yang cukup tua, tapi kemudian memakai paku biasa. Lantai atau dinding mula-mula terbuat dari bambu atau temor yang dijalin.
Umah (rumah) didirikan dari suyen (tiang) yang dibuat dari kayu hutan atau dari damar. Letak rumah biasa membujur dari timur ke barat dan letak kite/tangga biasa dari arah timur atau utara. Rumah yang letaknya timur – barat disebut bujur dan utara – selatan disebut lintang. Di luar bujur – lintang disebut sirung – gunting. Ruang dekat tangga disebut ralik, dan yang terjauh dari tangga disebut ujung dan yang di tenggah disebut lah.
Umah orang Gayo, dibuat memanjang, disebut umah pitu ruang (rumah 7 bilik/kamar). Enam bilik dihuni masing-masing satu KK, dan satu bilik adalah lepo/beranda, tidak dihuni, tapi tempat tamu, enam bilik tambah satu lepo/beranda, dijumlahkan menjadi 7 (tujuh), karena itu rumah tersebut, tetap disebut UMAH PITU RUANG/BILIK.
Timbul pertanyaan, kalau ada 6 KK yang mendirikan umah pitu ruang, siapa yang menempati bilik ralik, bilik lah, bilik ujung dan 3 bilik lainnya ?. bilik ralik paling disukai, dekat dengan tangga, dan sebaliknya bilik ujung adalah bilik yang paling tidak disukai.

Rupanya orang tua dulu punya cara sendiri, sebagai berikut :
Kalau hendak mendirikan umah pitu ruang, diawali dengan sebuah upacara penyerahan alat kepada utus. Utus lalu meminta agar calon penghuni rumah duduk melingkar di hadapannya. Lalu utus meminta agar tiang utama diletakkan di antara dia dan calon penghuni rumah. Tiang utama ini akan dipahat pertama kali di hadapan calon. Sela pertama harus diperhatikan, kemana jatuhnya. Ini penting sebab calon yang kena jatuhnya sela ini berhak mendapat bilik ralik dan seterusnya, penentuan penghuni bilik-bilik yang lain adalah dengan musyawarah berdasarkan jatuhnya sela pertama tadi.
Kalau sela tidak jatuh kepada 6 calon penghuni, misalnya jatuh kepada penonton, maka calon, harus menebus sela ini dengan tebusan :
Kain putih,    1 pinggang (+ 2 meter)
Beras,        1 bambu
Cincin emas,    1 bentuk
Jarum penjahit,    1 (satu)
dan urutan penghuni ruang ditentukan oleh utus dan jema opat yang dihormati dan dasar mereka adalah bilik ralik dihuni oleh orang/keluarga yang paling banyak anaknya, dan seterusnya, bilik ujung dihuni oleh keluarga yang anaknya paling sedikit. Pada umumnya putusan jema opat tidak pernah diprotes oleh calon penghuni, sebab jema opat dan utus orang yang dihormati.
Bila penduduk bertambah, maka rumah didirikan lagi dengan cara pertama tadi. Hanya saja diusahakan satu kampung hanya ada 5 – 6 umah pitu ruang. Kalau penduduk bertambah lagi tidak ada masalah, dirikan kampung lagi.

Bagian-bagian umah pitu ruang
Kita naik dari kité/tangga, masuk ke lepo. Di sebelah kiri lepo disebut serami rawan, sebelah kanan, serami benen. Ruangan sudut rumah di bagian ralik serami benen disebut anyung Lepo dan anyung lantainya sama tinggi. Bilik ditinggikan lantainya kira-kira 2 anak tangga dan punya pintu ke ruangan benen. Dinding ke ruangan rawan tertutup sama sekali. Antara lepo dan serami benen ada pintu yang hanya ditutup pada malam hari.
Bilik-bilik inilah yang digunakan keluarga bersama anaknya yang masih kecil (ukuran kecil, kalau laki-laki belum sunat) sebagai kamar tidur, menyimpan barang-barang berharga seperti kain, alat tenun dan lain-lain. Barang pecah belah disimpan di atas loteng yang disebut parabuang, sedangkan barang pecah belah yang dipakai sehari-hari disimpan di tempat piring yang disebut salangan di luar bilik. Tikar-tikar digulung dan diikat rapi dan digantung di dinding bilik yang dinamakan santon. Pada malam hari dapur dihidupkan untuk memanaskan badan dan sebagai alat penerangan dibakar uyem (damar). Sedangkan siang hari dapur digunakan untuk memasak. Mereka biasa makan 2 x sehari, kira-kira pukul 08.00 dan pukul 16.00. bilik-bilik penyimpanan barang-barang tadi disebut umah rinang atau atas rinung. Jalan dari ujung ke ujung sebelah dinding bilik disebut duru, sedangkan tempat dekat dinding luar disebut uken, yaitu tempat menerima tamu dan makan bersama.
Atap rumah dibuat dari sangé (pimping) yang diolah rapi dengan menyemat/mengayamnya pada sebuah kayu yang kuat, yang disebut bengkon. Jarang sekali rumah Gayo Lues yang beratap ijuk atau yang lain.

Tuesday, March 19, 2013

Sistem Tindakan Sistem Nilai Budaya Masyarakat Gayo Lues

Sistem Tindakan Sistem Nilai Budaya Masyarakat Gayo Lues
Sistem Tindakan Sistem Nilai Budaya Masyarakat Gayo Lues
Budaya dalam bentuk ini bersifat konkrit, dapat dilihat dan dapat difoto. Misalnya petani bekerja di sawah, karyawan bekerja di pabrik serta pelajar belajar di sekolah dan sebagainya.
Di Gayo Lues pada khususnya dan Gayo keseluruhan pada umumnya, pekerjaan menentukan orang, atau lebih tepat pekerjaan berdasarkan jenis kelamin. Setiap pekerjaan telah dibagi antara pekerjaan laki-laki dan pekerjaan perempuan. Pembagian bersifat mutlak, artinya suatu pekerjaan untuk laki-laki, tidak boleh dikerjakan oleh perempuan dan sebaliknya. Bila terjadi juga penyimpangan, pekerjaan laki-laki dikerjakan oleh perempuan, atau pekerjaan perempuan dikerjakan laki-laki, pasti mendapat ejekan, tertawaan, cacian, dan atau keprihatinan. Lalu para petua adat atau orang-orang dewasa menelusuri apa sebab musababnya, apakah masuk akal atau tidak. Setelah diselidiki ternyata benar, karena terpaksa, maka petua adat mencari jalan keluar yang terbaik, dan mengumumkan kepada publik sehingga publik maklum dan membantu mengatasi hal tersebut secara bersama.
Pekerjaan yang berat-berat adalah pekerjaan laki-laki dan sebaliknya pekerjaan yang ringan-ringan adalah pekerjaan perempuan.
Kita ambil contoh :
Pekerjaan bersawah.
Pekerjaan laki-laki adalah :
-mencangkul, membersihkan parit, membersihkan pematang, melumatkan tanah, meratakan tanah, menggirik padi, mengangkut padi ke rumah, dan lain-lain.
Pekerjaan perempuan adalah :
-menanam padi, merumput, menyabit, mengangin, dan lain-lain yang   ringan-ringan.
Di luar pekerjaan yang utama di sawah tadi,
Tugas laki-laki adalah :
-menebang ladang, membersihkan ladang, menanam ladang, memelihara hewan, membuat rumah, menganyam atap.
Tugas perempuan adalah :
-urusan masak- memasak, mencari kayu bakar, anyam-menganyam tikar, mengambil air ke sungai, berbelanja ke pasar, menyapu rumah, pokoknya urusan rumah tangga, mengurus anak kecil dan lain-lain.
Tugas bersama, artinya boleh dikerjakan laki-laki dan atau perempuan misalnya menjahit, mengendong anak kalau berjalan jauh, dan yang dianggap patut, misalnya mengurung ayam atau membelah kayu bakar dan lain-lain.
Kalau ada yang mengerjakan tugas yang bukan tugasnya tentu sangat dibenci orang, diejek, bahkan disisihkan dalam pergaulan. Tidak boleh laki-laki memasak, tidak boleh laki-laki belanja ke pasar, tidak boleh laki-laki mencari kayu bakar, tidak boleh laki-laki menanam padi dan lain-lain. Sebaliknya tidak boleh perempuan, menambat lembu, tidak boleh perempuan mencangkul, tidak boleh perempuan menggirik padi, tidak boleh perempuan menganyam atap, tidak boleh perempuan menjala ikan.
Nah kalau terjadi pelanggaran, bagaimana ?
Mula-mula si pelaku ditegor, “ Hai mengapa kamu mencangkul di sawah, padahal suamimu ada ? Mengapa kamu memasak padahal istrimu ada ?”. Bila keadaan demikian maka orang menyelidiki sebab musababnya. Si ibu mencangkul di sawah, karena suaminya sakit keras di rumah sakit. Si bapak memasak karena istrinya pergi ke Kutapanjang, sedangkan anaknya yang masih kecil-kecil mau makan dan belum bisa memasak.
Kalau penyebabnya masuk akal, persoalan tersebut tidak dipermasalahkan, dan tidak boleh dibiarkan berlanjut, harus ditanggulangi. Caranya, kalau misalnya ibu yang mencangkul di sawah tadi seorang janda, anak laki-laki tak ada, maka pemuda kampung harus turun tangan mencangkul sawah si janda sampai selesai tanpa pamrih, tanpa bayaran, tanpa minta makan dan atau minum kepada si janda. Bagaimana kalau pemuda tidak mau mengingat janda ini pelit, suka memarahi pemuda, maka orang-orang tua akan memarahi dan memaksa pemuda membantu dan kalau tidak juga maka orang-orang tua akan membantu si janda ini. Kalau sudah begini keadaannya, si pemuda kampung akan menanggung malu, diejek oleh pemuda kampung lain dan dicap “ merke “ pemalas. Ujung-ujungnya gadis dari kampung lain tidak mau kawin dengan si pemuda model ini. Bagaimana kalau bapak yang memasak tadi karena istrinya sudah meninggal, anak-anak masih kecil-kecil ?. Pemudi kampung harus membantu memasak nasi bapak ini dalam batas waktu satu bulan. Di samping itu orang-orang tua kampung, baik ibu-ibu atau bapak-bapak berusaha mencari istri bapak ini ke kampung lain. Bagaimana kalau dalam tempo sebulan belum juga dapat istri, maka tugas pemudi kampung dianggap sudah selesai. Pemudi lepas dari tanggung jawab membantu. Pemudi tidak dapat dipersalahkan lagi. Kerja masak-memasak, cuci piring dan lain-lain diserahkan kepada famili terdekat.
Yang kita ceritakan di atas adalah keadaan zaman dulu kelihatannya karena pengaruh pergaulan dan perubahan zaman keadaan tersebut mengalami erosi, mengalami perubahan yang nyata dan orang tidak ambil pusing lagi untuk tugas-tugas yang ringan. Orang laki-laki sudah ada yang berani berbelanja ke pasar. Orang laki-laki sudah ada yang berani mencuci pakaian anak-anaknya, orang laki-laki sudah ada yang berani mengangkat beras dari pasar dan lain-lain. Juga sebaliknya perempuan sudah ada yang mencangkul di sawah, perempuan sudah berani menggembala lembu atau kambing dan lain-lain. Para pelaku pelanggaran ini adalah orang yang sudah pernah merantau ke luar daerah. Di daerah lain dilihatnya lain dari di daerah ini. Dilihatnya di Aceh pesisir, laki-laki berbelanja ke pasar, laki-laki memasak, membuat mie, memasak martabak. Dilihatnya yang mencuci di sungai ada juga laki-laki, dan di banyak daerah dilihatnya laki-laki dan perempuan mencangkul di sawah, di ladang dan lain-lain. Pengalaman ini sebagian ada yang diterapkan di daerah ini, sungguhpun masih mendapat tantangan dari masyarakat.
“ Tak malu, laki-laki beli ikan di pasar, tak malu laki-laki beli sayur. Tidak malu perempuan beli parang, tidak malu perempuan beli cangkul dan lain-lain “.

Friday, March 15, 2013

Sanksi Hukum Menurut Orang Gayo Lues

Sanksi Hukum Menurut Orang Gayo Lues
Sanksi Hukum Menurut Orang Gayo Lues
Hidup kita selalu berdasarkan takdir, dari Allah SWT. Yang harus kita jalani. Ada untung, ada rugi. Apabila dapat untung kita wajib bersyukur, apabila dapat musibah harus bersabar. Manusia yang mendapat keuntungan tidak bersyukur, sangat dibenci Allah, demikian juga manusia yang ketika mendapat cobaan dengan musibah tidak bersabar, juga dibenci-Nya.
Rupanya hidup ini tidak luput dari dua hal yang saling bertentangan. Ada surga, ada neraka, ada senang, ada susah, ada siang, ada malam dan seterusnya. Kita menghendaki hidup aman tenteram, baldatun taybatun, warabbum qafur. Tetapi hampir susah mencapainya. Kita menghendaki di kampung kita tak ada criminal (Bahasa Gayo pelangaran). Namun ada juga, terjadi  pelanggaran, apa boleh buat.
Karena itu setiap “ pelanggaran ” kita beri sanksi. Sanksi hukum untuk setiap pelanggaran digolongkan sebagai berikut :
Diet    =pelanggaran yang mengakibatkan kerugian besar bagi orang lain, misalnya seorang membunuh kerbau orang lain, maka dia harus mengganti dengan kerbau yang sama besarnya.
Bela    =pelanggaran yang mengakibatkan kerugian bagi orang lain, ditimpakan sama dengan kerugian yang disebabkan oleh si pelanggar. Nyawa beluh nyawa gantie, rayoh beluh rayoh gantie. Beda diet dengan bela adalah, diet khusus untuk harta yang dapat diganti, sedang bela sesuatu yang tidak dapat diganti.
Rujuk    =pelanggaran/salah jalan yang masih dapat dikembalikan ke jalan yang benar, tingkis ulak ku bide, sesat ulak kudene.
Maas    =pelanggaran yang patut dimaafkan, setelah ditinjau dari segala segi.
Segala sanksi tersebut di atas akan hilang kekuatannya bila yang merasa dirugikan memaafkannya. Apabila yang dirugikan tidak memaafkannya, maka jema opat akan turun tangan menyelidikinya, dengan berpedoman kepada hukum adat, yaitu koro beruer, ume berpeger, malu beruang, mas berpure.
Apabila terjadi pelanggaran :
a.Koro beruer, ume berpeger,    terjadi pelanggaran, koro lepas dan merusak tanaman/masuk sawah, maka sifatnya tidak sengaja, kerugian dibagi dua.
b.Koro beruer, ume gere berpeger,    terjadi pelanggaran, kerbau merusak sawah, maka kerugian tidak diganti, kesalahan di pihak pesawah.
c.Koro gere berpeger, ume berpeger,    terjadi pelanggaran, maka kesalahan ditimpakan kepada pemilik kerbau.
d.Koro gere berpeger, ume gere berpeger,    terjadi pelanggaran, maka tuntutan kerugian dianggap tidak ada.
Atas dasar hukum adat inilah segala sesuatu perbuatan yang melanggar hukum, ditarik garisnya.
Sebagai misal, kejadian dalam penghidupan sehari-hari : seorang gadis diperkosa oleh seorang pemuda di luar rumah pada malam hari. Kejadian ini dilihat dari dasar adat tersebut di atas, diselidiki oleh jema opat dengan teliti. Apa sebab si gadis ke luar rumah pada malam hari, sedangkan koro beruer, gadis harus tinggal di dalam rumah pada malam hari. Tanpa pengawal, seorang gadis dilarang ke luar rumah. Sedangkan pemuda dibenarkan ke luar rumah pada malam hari. Kesimpulannya, gadislah yang bersalah, karena itu si pemuda bebas. Diistilahkan dalam bahasa Gayo, i deretni tarak pakanni musang, ideretni uer pakanni kule, di luar kandang makanan musang, di luar kandang makanan harimau. Bagaimana bila kejadian tersebut terjadi pada siang hari?. Bila mereka tidak berencana sebelumnya, dan pekerjaan itu tidak dilakukan suka sama suka, maka untuk pembuktian dilihat beberapa alternatif, yang diistilahkan dengan :
Ike i belang penyemuran, jemur mayak, ike i belang kolak baju murebek, ike i aih aunen labu mupecah. Pembuktian harus nyata, tidak dibuat-buat