Wednesday, November 14, 2018

URAIAN SINGKAT TENTANG NEGERI YANG BERNAMA GAYO LUES


URAIAN SINGKAT TENTANG NEGERI YANG
BERNAMA GAYO LUES


1. Kekejurunan Patiambang
Daerah yang sekarang dinamakan Gayo Lues dahulu dikenal dengan nama daerah Kekejurunan Patiambang.

Di daerah Gayo, mula-mula terdapat empat daerah kekejurunan yaitu Bukit, Syiah Utama, di daerah danau, Linge di daerah Isaq, serta Patiambang di daerah Gayo Lues. Kemudian bertambah dua lagi yaitu Bebesen di daerah Bebesen sekarang dan Abok di Lukop Serbajadi. Raja / Sultan Aceh memberi derajat yang sama kepada kejurun-kejurun pedalaman ini dengan kejurun-kejurun yang terletak di daerah pesisir. Kepada kejurun di pesisir diberi S.K. hitam di atas putih, yang disebut sara kata dan kepada kejurun-kejurun pedalaman ini diberi sebuah bawar yaitu sejenis pisau komando sebagai tanda kebesaran. Apa sebab kapada kejurun pesisir diberi S.K. hitam di atas putih dan kepada kejurun pedalaman diberi bawar tidak begitu jelas. C.S.H dalam bukunya Het Gajoland en Zijne Bewoners menyebutkan bahwa :
“Kalau pada pimpinan di pesisir Aceh diberikan sara kata atau akta penetap, maka kepada kejurun di Gayo mungkin waktu itu dianggap masih belum memiliki pengetahuan tulis baca, maka masing-masing diberikan bawar, sejenis keris sebagai tanda kebesaran. Para kejurun ini sebagai mana di pesisir Aceh, juga pada setiap upacara resmi tetap memakainya sebagai symbol sekaligus sebagai pakaian kebesaran terselip dalam satu sarung yang panjang”.(1)
Fungsi kejurun ada dua, yaitu ke luar dan ke dalam. Ke luar terutama menghadap Sultan, baik untuk urusan pemberian upeti dan juga bila diperlukan atau dipanggil. Ke dalam urusan dengan reje-reje misalnya menyelesaikan perselisihan antara reje dalam daerah hukum kejurun.
C.S.H dalam buku tersebut di atas menyebutkan tentang fungsi kejurun sebagai berikut :
Fungsi kejurun pada umumnya adalah menyelesaikan sesuatu yang oleh reje-reje sendiri tidak mampu melaksanakannya, terutama untuk mewakili Tanah Gayo di forum luar yaitu menghadap kepada daulat. Maka kejurunlah yang melakukan hal ini sebagaimana seorang presiden dari satu persekutuan di antara kerajaan-kerajaan mini yang ada di Tanah Gayo.
Demikian juga untuk bertindak ke dalam, kejurun harus dapat menyelesaikan perselisihan-perselisihan antara para reje yang ada di daerahnya, misalnya antara anak buah reje yang satu dengan reje yang lain tidak dapat didamaikan antara sesamanya. Selanjutnya untuk menentukan sesuatu pemukiman baru, terutama kalau ada perpindahan keluarga dari tempat lain, diperlukan persetujuan dari kejurun. Untuk ini kejurun berhak atas sembah, bentuk persembahan sebagai tanda kesetiaan di bawah kejurun yang ada. Di samping itu untuk menobatkan seorang reje, atau untuk meresmikan sesuatu kesatuan yang baru yang mungkin karena terpecah dari suku asalnya, atau karena pejabat yang lama meninggal atau oleh karena kepada pejabat yang lama tidak patuh lagi. Untuk semua ini harus ada doa restu (dowa) dari kejurun. Di samping itu kejurun masih memerintah sebagai reje dalam klennya.(2)

2. Susunan Pemerintahan
Susunan Pemerintahan Kekejurunan Patiambang diatur sebagai berikut :
Pucuk pimpinan tertinggi dipegang oleh kejurun, dibantu oleh empat reje dan delapan reje cik.
Keempat Reje adalah :
1. Reje Gele,
2. Reje Bukit,
3. Reje Rema,
4. Reje Kemala (Cane Uken).
Kedelapan Reje Cik adalah :
1. R.C. Porang,
2. R.C. Kutelintang,
3. R.C. Tampeng,
4. R.C. Kemala Darna (Rempelam),
5. R.C. Peparik,
6. R.C. Penosan,
7. R.C. Padang,
8. R.C. Gegarang.
Menurut CSH : reje ini mempunyai pembantu-pembantu sebagai berikut :
Reje (pengulu) adalah orang pemegang adat (edet) di dalam batas-batas Republik-mini yang dikuasainya. Dia menerima kedudukan ini dari pendahulunya yang sudah meninggal dan dengan persetujuan saudere, sebelum dia ditunjuk menjabat pangkat ini bersama-sama dengan mereka semuanya. Ada dua pembantu yang ikut mendampinginya.
1. Tue atau Petue. Ini adalah satu jabatan yang biasanya diwarisi turun-temurun, ditunjuk oleh reje bersama dengan saudere. Dia mengatur dan melaksanakan hal-hal yang ringan-ringan, sedangkan hal-hal yang besar ia serahkan penanganannya kepada reje. Di tempat kediaman saudere yang tidak satu kampung dengan reje, kedudukan Tue bisa menjadi bedel.
2. Demikian juga dengan jabatan ketiga, bukan saja dia harus berpengalaman dan bijaksana, akan tetapi diperlukan seorang ahli di dalam bidang agama islam, disebut Imem. Imem berada di bawah control adat. Pelaksana upacara pernikahan dan upacara kematian beserta segala sesuatu yang berkenaan dengan kedua hal itu, yang disebut Kerje murip, kerje mate, sepenuhnya ditangani pelaksanaannya oleh Imem, walaupun demikian pada pengurusan tingkat penentuan akhir juga berpulang di tangan reje.
Perangkat pemerintah yang menangani masing-masing permasalahan di kalangan masyarakat Gayo, nyatalah bagi kita bahwa skema dari ketiga pejabat di berbagai negeri ini sering tidak sama, berubah-ubah atau ada yang lebih meluas. Umpamanya di Gayo Lues, jabatan reje dipecah lagi di dalam tiga bagian yaitu, Cik, Wakil, dan Mude. Sedangkan cik dan wakil melengkapi seorang pelaksana di bawah bukan hanya Reje Cik, tetapi keempat pejabat lainnya, mude, wakil dan katip menugaskan lagi seorang tue.
Dalam penelitian, masih ditemukan perbedaan-perbedaan setempat, tetapi tiga unsur yang disebut tadi adalah juga merupakan dasar untuk membangun yang lainnya.
Setiap pelaksana dari satu fungsi kekuasaan tidak terlepas dari pengamatan dan bantuan oleh seseorang atau lebih sanak saudara, ini tertera dalam ungkapan-ungkapan adat sebagai berikut : reje mubangta, imem melebe, tue mukatir, yang artinya raja mempunyai beberapa bangta (pembantu), imem mempunyai lebe, tue memiliki katir.(3)

3. Sistem Pemerintahan
Sistem Pemerintahan Kekejurunan Patiambang hampir bersamaan dengan daerah-daerah lain di daerah Aceh, mempunyai ciri-ciri sendiri yaitu berdasar hukum adat yang bersumber dan berlandaskan hukum Islam, berdasarkan Al Qur’an dan hadis.
Kedudukan kejurun, reje, reje cik, adalah sebagai pemangku adat artinya kedudukan mereka bertiga di atas adalah menjalankan dan memelihara berlakunya hukum adat dalam menjalankan pemerintahan.
Kekuasaan berpusat pada reje namun tidak ada pembagian kekuasaan. Walaupun demikian reje tidak dapat berbuat sewenang-wenang karena reje terikat dengan hukum adat yang diawasi secara ketat oleh seorang imam. Imem bertugas mengawasi sejauh mana hukum adat sesuai dan tidak bertentangan dengan Islam. Bila bertentangan maka hukum Islamlah yang dipedomani. Namun demikian ada juga kejadian hukum Islam terkesampingkan dan adatlah yang dipakai. Hal ini sering terjadi bila reje tidak begitu dalam ilmu agamanya, atau berlaku sewenang-wenang.
Seperti disinggung di atas kekuasaan reje bukan tidak terbatas. Pembatasan ini di daerah Gayo terkenal dengan istilah edet :
Sudere genap mupakat
Urang tue musidik sasat,
Pegawe muperlu sunet
Pengulu museket sipet, artinya :
Sudere artinya rakyat banyak, fungsinya genap mupakat. Golongan ini dapat disamakan dengan badan pekerja. Golongan ini harus bersatu padu melaksanankan segala tugas untuk kepentingan bersama.
Urang tue perwakilan yang anggotanya diambil dari orang tua yang telah banyak pengalaman. Fungsinya musidik sesat meneliti segala pekerjaan yang bertujuan untuk kesejahteraan bersama dan juga sebagai penasehat adat untuk reje.
Pegawe golongan masyarakat yang anggotanya diambil dari para ahli dalam pertukangan, pertanian, perkebunan dan lain-lain. Fungsinya muperlu sunet artinya dapat membedakan halal dan haram dan apa yang harus dikerjakan untuk kesejahteraan bersama.
Pengulu pemimpin kampung yang diangkat berdasarkan pemilihan secara langsung yang fungsinya musuket sipet, memimpin masyarakat secara adil tidak berat sebelah, nyuket kuare gere naeh rancung nimang kunecara gere naeh alihen.
Pemerintah di Gayo Lues bersifat otonom tanpa banyak dicampuri oleh Sultan Aceh. Sebagai contoh pelaksanaan hukuman mati. Seharusnya pelaksanaan hukuman mati harus ada izin dari sultan tetapi kenyataannya hukuman mati dilaksanakan juga tanpa sepengetahuan sultan, dengan syarat nanti dileporkan kepada sultan.
Hubungan pemerintah di Tanah Gayo dengan Pusat Pemerintahan Kerajaan Aceh, hanyalah dalam soal-soal penting yang menyangkut kepentingan bersama dan menyangkut kepentingan umum Kerajaan. Hubungan biasa adalah hubungan misalnya dalam memberikan “upeti” yang dilaksanakan setiap waktu yang ditetapkan oleh Sultan. Hal-hal yang menyangkut kepentingan umum seperti peperangan melawan musuh dari luar, seperti yang terjadi dengan perang Aceh 1873, maka seluruh rakyat Gayo berikut rajanya serentak terjun dalam perang melawan kolonialis Belanda yang secara langsung dihadapi bersama.(4)

4. Penghasilan Para Pejabat
Penghasilan-penghasilan reje adalah sebagai berikut :
Salah = denda karena pelanggaran edet. Seperti di daerah Aceh, inipun merupakan sumber terpenting bagi pemuka-pemuka itu. (het Gajoland halaman 82) ;
Pemasukan atau kemasuken = hadiah untuk menjadi anggota suku lain yang dibayar oleh orang yang diterima itu kepada Reje baru, yaitu secara resmi lime teil atau sepuluh teil dan di samping itu disembelih seekor kambing atau kerbau. (het Gajoland halaman 88) ;
Peceren = hadiah kepada Reje dalam hal ini pengucilan dari masyarakat kesukuan seseorang anggota suku atau keluarga buar (saudere), jumlah berubah-ubah antara delapan dan sepuluh ringgit, nominal lime teil. (het Gajoland halaman 87) ;
Pendis = uang yang dibayarkan (beberapa ringgit) kepada pejabat-pejabat dalam hal ini pengangkatan seseorang budak. (het Gajoland halaman 269) ;
Penesah = uang penesahan (5 – 10 ringgit yang dibayarkan kepada Reje oleh ayah angkat dalam hal ini terjadi pengangkatan (menyahan) supaya Reje mengakuinya sebagai anggota suku atau keluarga. (het Gajoland halaman268) ;
Penangkap = uang (resminya berjumlah 5 teil) yang dibayarkan kepada Reje sebagai merestui penerimaan seorang menantu (biasanya seorang asing) ke dalam hubungan kesukuan. (het Gajoland halaman 270) ;
Pekeberen = uang (beberapa ringgit) yang dibayarkan kepada Reje janda yang hendak kawin dalam hal ini terjadinya perkawinan dengan seorang janda (ngalih) jika seorang laki-laki hendak kawin itu secara resmi menyatakan maksudnya. (het Gajoland halaman 82 pada catatan) ;
Penomen = uang (biasanya berjumlah 10 ringgit) yang dihadiahkan kepada Reje supaya ia tidak mengunakan haknya untuk mengadili sesuatu perkara secara pribadi dan menyerahkan urusannya kepada seorang tue (yang lebih murah). (het Gajoland halaman 82) ;
Tingiren = uang yang dibayarkan kepada Reje dalam sesuatu urusan tertentu untuk memperoleh restunya (keizinannya) (meniro doa) umpamanya jika hendak berperang, mendirikan kampung baru, membunuh orang yang bersalah dalam hal ini menuntut bela, dalam hal perkawinan, pindah rumah ke kampung lain, menyembelih hewan korban, menanam batu nisan, dsb.
Cap ku Reje = cap untuk Reje, yaitu dada (dede) kerbau yang disembelih dalam kenduri yang diserahkan kepada Reje, sebagai gantinya kadang-kadang dibayarkan uang seringgit (regeni dede). Bandingkan ‘het Gajoland halaman 82 dan 274 ;
Usur = (bahasa Arab : ‘usyr yaitu sepersepuluh) – nama untuk berbagai-bagai cukai :
1. Uang jerih payah sebanyak 1 – 2 ringgit yang diserahkan oleh ayah pengantin laki-laki kepada Reje pengantin perempuan dalam hal ini dilakukan sesuatu pernikahan (juga di namakan cap usur dan dewasa ini berjumlah f 1,50 ; di Tanah Alas dinamakan adat kawin). Bandingkan ‘het Gajoland halaman 83 dan 274 ;
2. Cukai yang di masa dahulu dibayarkan kepada tempat-tempat cukai Aceh sebagai pajak pengeluaran kerbau (juga dinamakan Edet) ;
3. Pajak yang menurut adat harus dibayarkan oleh orang-orang Gayo kepada Sultan Aceh, dikatakan, bahwa usur itu harus dibayarkan tiga tahun sekali ;
4. Pajak penjualan candu secara kecil-kecilan (seringgit untuk setiap bulatan).
Penghasilan-penghasilan utama para imem ialah :
Ha’ nikah atau jari malim = jerih payah (dewasa ini berjumlah f 1,50) yang dibayarkan oleh ayah pengantin perempuan dalam hal sesuatu pernikahan. (het Gajoland halaman 274) ;
Ha’ telekin = jerih payah (kira-kira f 0,25) untuk membacakan ‘talkin’ seseorang ;
Sedekah atau penyerahen atau permungen = uang atau hadiah yang dibayarkan oleh pengantin perempuan dan laki-laki kepada masing-masing imem mereka sebagai jerih payah karena telah mengajarkan mereka tata-cara perkawinan selama beberapa hari sebelum dilangsungkan pernikahan(berguru). Lihat ‘het Gajoland halaman 275.
Jakat (Zakat) = yang dibagi-bagikan oleh imem kepada mereka yang mempelajari kewajiban-kewajiban agama yang dinamakan fakir miskin.
Dari pitrah (Fitrah) = ia menerima lebih kurang 1/3 bahagiannya (‘het Gajoland halaman 86).
Oleh karena tue mendampingi reje dalam tugas-tugas jabatannya, maka jelaslah bahwa iapun menerima penghasilan yang diadatkan seperti yang diperoleh Reje, namun peraturan yang terperinci mengenai hal itu tidak ada. (‘het Gajoland halaman 85). (5)


5. Penggantian Kejurun dan Reje
Penggantian kejurun dan reje hampir sama. Kejurun yang mangkat biasanya digantikan oleh anak laki-laki yang tertua. Demikian juga penggantian reje. Tetapi tidak secara otomatis masih ada pertimbangan lainnya.
Sebagaimana telah kita lihat di bagian-bagian terdahulu, bahwa Tanah Gayo tidak lebih dan tidak kurang, sama saja dengan keadaan di Aceh, bahwa semua jabatan atau pangkat cenderung diwariskan kepada kerabatnya sendiri, tidak peduli apakah mempunyai kemampuan dan memiliki pengetahuan, yang sebenarnya adalah syarat yang mutlak harus dimilikinya. Yang pasti adalah pewarisan jabatan reje-reje, terutama ‘jabatan kejurun’. Seorang kejurun atau reje akan digantikan oleh anaknya ; namun tidak harus oleh anak yang tertua, akan tetapi oleh seorang yang memiliki tanda-tanda bertuah (mutuah). Siapa yang bertuah, dialah dengan kesepakatan saudare bersama-sama, yang ditentukan dengan bantuan ramalan seorang guru – bukan guru di bidang agama, tetapi ahli nujum yang pandai melihat tanda-tanda. Mengertilah kita bahwa sedikit ada syarat bagi seorang calon kejurun, dan reje, yaitu lebih ditentukan oleh faktor tuah yang dimilikinya. Memilih si bungsu (bensu) adalah juga merupakan suatu kehormatan dari pada anak yang tua (si ulubere), begitu juga halnya dengan pembagian harta pusaka, biasanya anggota famili lainnya memberikan perhatian kepada sibungsu. Anak di bawah tidak boleh memegang jabatan, dalam keadaan demikian ini biasanya anak tertualah mendapat kehormatan terlebih dahulu untuk bertindak sebagai Bedel (wakil).
Andaikata seorang kejurun atau seorang reje tidak mempunyai putra seorangpun, ini tergantung lagi kepada tuah, siapa di antara salah seorang sepupu atau keponakan atau putra saudara yang telah meninggal dunia, yang mampu menyandang jabatan ini (sahan si nguk mah nahma).
Kalau seorang reje meninggal dan sebelum penguburan berlangsung dapat diangkat seorang penggantinya, maka sang pengganti pejabat itu bersama-sama diarak ke kuburan oleh semua famili serupa dengan jenazah. Di kuburan orang menempatkannya di kepala atau di kaki kuburan dan kemudian setelah selesai penguburan kembali diarak pulang ke rumah. Ini disebut iperarakan. Acara penggantian ini disebut mawen (ipawen) artinya dirangkaikan, yaitu, meneruskan pangkat dan jabatan reje tanpa ada peresmian lagi. Cara ini akan sangat menghemat biaya. Kalau melalui pemilihan akan memakan waktu permusyawarahan yang lama, maka jabatan ini dianggap kosong dan penggantiaannya dianggap sebagai reje baru ; pengangkatan begini harus dilakukan dengan ‘dowa’ dari kejurun, yang tentu memerlukan banyak uang guna membiayai peresmian. Dalam keadaan begini reje baru harus diperkenalkan kepada teman sejawat dalam daerah itu, dengan melakukan persembahan berupa kain putih, bajudin namanya. Pada akhirnya pada acara peresmian (neiken reje) dilaksanakan satu pesta (kenduri) sekurang-kurangnya dengan memotong seekor kerbau. Pada pemilihan-pemilihan yang diwarnai kericuhan antara anak-anak, mawen tidak mungkin dilakukan maka yang terpilih sama dengan memilih reje baru.
Di Gayo Lues penggantian pada setiap kematian seorang reje, harus dapat membagikan delapan potong kain putih (empat kepada Kejurun Patiambang, empat lagi kepada teman sejawatnya). Ini namanya ‘mate berbajudin leng bersalen, hangat pepakiren’, artinya ‘kalau (seorang reje) meninggal, bajudin dituntut, serahkan sepesalin yaitu dua potong kain putih kepada anggota famili yang lain. Apabila dalam keadaan demikian republik ini tetap panas dengan sering datangnya bahaya umpamanya lalu sanak saudara memutuskan “nahmanya” (kebesarannya), kebesarannya tidak sesuai harus diambil dan jabatan presiden ini diberikan kepada orang lain.
Dalam teori, seorang kejurun baru harus mengambil surat pengangkatan dari Daulat Aceh. Dengan sendirinya bisalah kita artikan bahwa oleh semua kejurun diseluruh pesisir Aceh selama berabad-abad sudah tidak teratur pelaksanaannya, dan tentu pikiran dan prilaku kejurun yang begitu, sedikit banyaknya merasuk juga ke dalam pikiran dari ke ‘empat Kejurun’ yang ada di Tanah Gayo. Dengan contoh dan tradisi yang demikian, pantas mereka berpendapat, tanpa mendapat persetujuan dari Aceh pun kita bisa aman tinggal di daerah ini.
Tentang pengangkatan kejurun tidak perlu ada istilah mawen karena ‘nahma’ itu sendiri tidak ikut mati, walaupun pengalihan kepada yang lain sebelum penguburan terjadi belum dilaksanakan. Tanpa melakukan upacara pengangkatan, para famili harus bersepakat dengan para reje yang ada dalam daerah itu untuk menunjuk seorang pengganti dari kejurun yang meninggal. Di mana-mana orang tidak ada berkata “neiken kejurun” serupa dengan “neiken reje” karena dilaksanakan diam-diam seolah-olah bahwa penetapan kejurun datangnya dari atas dan bukanlah atas kehendak rakyat. Di Gayo Lues pengangkatan seorang kejurun biasanya sama dengan pengangkatan seorang reje. Dari penggantian seorang kejurun yang meninggal dunia, edet menuntut enam belas potong kain putih untuk bajudin, yang dibagikan kepada dua belas orang pengulu yang dianggap memangku jabatan asal (pengulu si due belas). (6)
6. Jumlah Penduduk Kekejurunan Patiambang
Tidak dapat ditentukan dengan pasti berapa jumlah penduduk Gayo Lues pada waktu kedatangan Belanda tahun 1904.
Menurut M.H Gayo penduduk Gayo Lues pada tahun 1904 adalah 11.500 orang.
Dalam pada itu seorang penulis Belanda Dr. A J. Piekaar yang menjadi pegawai Pemerintah Kolonial Belanda di Aceh dalam bukunya menulis bahwa jumlah penduduk Gayo dan Alas menjelang penyerbuan Jepang ke Aceh bulan Maret 1942, adalah kira-kira 72.500 orang, yang terdiri dari 29.000 orang penduduk Gayo Laut, 23.000 orang penduduk Gayo Lues, dan 20.000 orang penduduk daerah Alas.
Keadaan yang digambarkan oleh Piekaar tersebut adalah 38 tahun setelah penyerbuan Belanda ke Tanoh Gayo dan Alas tahun 1904, untuk dapat mengetahui jumlah penduduk Gayo dan Alas pada saat penyerbuan Belanda tahun 1904 itu dapat dipergunakan berbagai-bagai cara. Ada orang berpendapat bahwa berdasar perkiraan pengalaman perkembangan penduduk, dapat diketahui bahwa dalam masa kira-kira 35 – 40 tahun, perkembangan penduduk bertambah menjadi kira-kira 100 %. Jika pendapat ini dapat dipergunakan maka jumlah penduduk Gayo dan Alas pada waktu penyerbuan Belanda tahun 1904 dapat diperkirakan yaitu ½ x 72.500 orang menjadi kira-kira 36.250 orang. Antaranya kira-kira 14.500 orang penduduk Gayo Laut, kira-kira 11.500 orang penduduk Gayo Lues dan kira-kira 10.000 orang penduduk daerah Alas. Dalam jumlah ini belum termasuk penduduk daerah Serbajadi. (7)

WARUNG DI ATAS BUKIT

WARUNG DI ATAS BUKIT
OLEH : Drs. H. M. SALIM WAHAB

PADA MASA BELANDA (1927 – 1937) DI GAYO LUES PERNAH ADA WARUNG DI ATAS BUKIT ISINYA ADA NASI GORENG, ROTI, DAN MINUMAN KALENG. WARUNG TIDAK DIJAGA. SIAP MAKAN BAYAR, KALAU TAK ADA UANG, ISI FORMULIR, LETAKKAN DI ATAS MEJA, ATAU JEPIT DI DINDING. AWAL BULAN POTONG GAJI.

Barangkali judul di atas dianggap orang lelucon saja, atau sesuatu yang tak masuk akal, atau perbuatan orang gila. Tetapi benar adanya. Ada warung di kaki gunung Burni Peparik, ada warung di kaki gunung Burni Leme, ada warung di Burni Palok, ada warung di Burni Badak. Isi warung nasi goreng, minuman kaleng dan roti kering.

Nasi goreng dijual agar jangan cepat basi, minuman kaleng dijual agar tahan lama dan juga roti kering yang tak cepat berjamur. Tujuan pembuatan warung ini agar serdadu yang operasi setiap hari jangan kelaparan, jangan kehausan. Serdadu yang operasi berangkat pagi pulang sore, berangkat sore pulang pagi dst. Serdadu yang operasi tidak membawa perbekalan yang lengkap. Supaya jangan kelaparan, kehausan, didirikanlah warung, di setiap tempat yang strategis jauh dari tangsi. Semula memang hanya untuk serdadu Belanda, tetapi lama kelamaan juga untuk rakyat jelata.
Pagi-pagi sekali orang suruhan serdadu Belanda, mengantar nasi goreng, roti, dan minuman kaleng ke setiap warung. Sesampai di warung, petugas tadi menyusun dengan rapi, nasi goreng, kaleng minuman dan roti pada tempat yang sesuai. Kemudian para petugas pulang, dan mengunci warung. Kunci diletakkan di tempat yang aman dan mudah dilihat orang. Ada juga pintu dikunci dengan kayu, tapi kodenya/cara membukanya diberitahu dengan tulisan. Kalau semua dianggap sudah selesai, serdadu dengan orang suruhan pulang ke tangsi.
Jadi warung tidak dijaga?. Betul, warung tidak ada penjaganya. Untuk membantu pelanggan, di sana telah ada daftar harga. Misalnya nasi satu piring 10 sen, ikan satu potong 5 sen, minuman kaleng 1 kaleng 2 ½ sen, dsb. Dengan demikian orang dapat makan dan minum sesuai dengan isi kantongnya, atau kemampuannya. Misalnya pelanggan masuk, lalu makan dan minum. Dia sudah tahu berapa uang yang harus dibayar. Misalnya dia makan 2 piring nasi dan minum 2 kaleng, maka dia harus bayar 2 x 10 sen + 2 x 2 ½ sen = 20 + 5 sen = 25 sen. Uang dimasukkan ke dalam kotak yang sudah tersedia. Oh itu untuk orang yang ada uang, bagaimana kalau uang tak ada. Jangan takut, ada caranya. Sesudah makan dan minum, lalu dia tulis makanan dan minuman yang sudah dihabiskannya, di satu formulir yang sudah tersedia. Lalu formulir ini disimpan di tempat yang sudah disediakan. Itu kalau pegawai, kalau rakyat biasa yang tak bergaji bagaimana. Jangan binggung, jalan masih terbuka. Misalnya ada seberu/sebujang sedang berutem, kelaparan dan kehausan. Silakan mampir, makan dan minum terus, yang penting harus diingat apa yang dimakan dan diminum. Nanti sore, lapor kepada petugas, dan bulan depan bayar. Bila bulan depan pun uang tak ada, dipakai cara yang agak kasar, yaitu datang ke tangsi, dan jumpai komandan jaga ;
“Pak, hari Minggu lalu saya makan dan minum di warung Burni Peparik. Nasi goreng 2 piring, minuman kaleng 2 buah. Saya tak punya uang pak, bagaimana caranya ?”
“Kau harus membersihkan / mencangkul tangsi seluas 25 m² “
Atau kalau keberatan mencangkul boleh pilih yang lain, misalnya membawa kayu masak 10 jangkat, atau boleh juga memikul beban serdadu yang operasi selama seminggu, dsb.
Lalu timbul pertanyaan, apakah tidak ada penipuan, pencurian, penggarongan. Misalnya, dia makan 4 piring ngaku 1 piring, minum 5 kaleng, dibilang 2, dsb. Atau roti dibawa beberapa bungkus.
Hampir 10 tahun keberadaan warung ini, hanya ada satu orang yang menipu, menurut pengarang buku ATJEH, H. C. ZENTGRAAFF yang diterjemahkan dengan judul buku Kisah-kisah Lama Di Daerah Gayo Lues, hal. 59, dilakukan oleh seorang dokter hewan yang lebih banyak sifat hewan di hatinya daripada sifat manusia. Dalam 10 tahun, beribu pelanggan keluar masuk warung yang menipu hanya 1 orang, luar biasa. Sukses, mengagumkan. Dasar pemikiran setiap pelanggan adalah kejujuran dan itikat baik. Betul-betul tertanam di dalam hati. Semboyan umum pada waktu itu adalah :
“ ASAL JANGAN SAYA YANG MENIPU “
Dan di dinding setiap warung tertulis kata mutiara,
“ SAYA TAK AKAN MEMBOHONGI HATI NURANI SAYA “
Kalau saya minum 2 kaleng, saya bilang satu kaleng, maka saya telah membohongi hati nurani. Hati nurani tak dapat dibohongi.
Nah, sekarang sudah banyak orang Gayo Lues yang kaya, yang dianggap mampu membuat warung ala Belanda tersebut. Investasi perlu ditanam, dan kalau melihat warung Belanda tersebut, untungnya sungguh menjanjikan, mengiurkan !.
Caranya, tak usah malu-malu ikuti saja cara warung Belanda. Kalau boleh saya mengusulkan satu dibuat di BUKIT CINTA, Blangtenggulun. Pada hari minggu atau hari besar lainnya tempat ini penuh muda-mudi, lebih-lebih waktu bulan muda. Satu lagi di BERAWANG LOPAH, di BLANG TASIK, di BLANG SERE, di KALA PINANG, di ATU PELTAK, dan di KACANG MINYAK arah Pining.
Ada 3 pihak yang beruntung, yaitu penanam modal, untung besar menanti, rakyat sebagai pelanggan, dan penambahan PAD Pemda.
Ah, itu teori. Prakteknya bagaimana. Bisa-bisa, bukan saja nasinya habis, minuman habis, roti habis, juga warungnya bisa hilang. Tapi mari kita coba dulu, jangan pesimis. Belanda yang kafir kok bisa, kita yang muslim kenapa tidak.