Tuesday, March 12, 2013

Dunia Seberu-sebujang dalam Masyarakat Gayo Lues

Dunia Seberu-sebujang dalam Masyarakat Gayo Lues
Orang selalu menaruh perhatian yang sangat terhadap masalah perkawinan; tentu saja bagi pemuda, pemudi, dan bahkan orang tua. Mereka jauh-jauh hari sudah sibuk bahkan sebelum anak-anak mereka meningkat baliq. Tidak jarang, bahkan orang tualah yang paling sibuk mencari dan atau mengintip calon menantu mereka. Orang tua calon menantu sudah didekati, dengan satu tujuan agar mereka berbesan kelak. Bila gayung bersambut, hubungan antarcalon besan menjadi baik, selama tidak terjadi apa-apa yang dapat merenggangkannya. Tidak jarang terjadi hubungan bahkan semakin meruncing bila salah satu pihak berkhianat, misalnya mengawinkan pasangan tadi dengan orang lain. Perkawinan yang didahului dengan pertunangan seperti model di atas, bukan berarti kawin paksa, biasa dilakukan terutama antarfamili/masih ada hubungan darah, antarkampung, bahkan antarbelah. Kelihatan jelas dalam perkawinan di atas orang tualah yang aktif, sedangkan pemuda-pemudi sangat pasif. Anak yang baik tidak banyak tingkah. Mereka ini tidak mau tahu siapa yang jadi jodohnya, toh itu urusan orang tua, dan sudah demikian menurut adat. Seakan-akan tidak ada kemerdekaan dalam pemilihan jodoh. Kalau salah satu pihak, misalnya, berkeberatan dengan jodoh yang sudah disetujui orang tua, yang biasa disebut kawin paksa, biasanya pemudilah yang paling sering menjadi korban. Sekuat tenaga dia menolak jodoh tadi dengan berbagai alasan, sekuat tenaga pula orang tua si pemudi membujuknya, kalau perlu dengan sedikit ancaman. Biasanya pasukan pembujuk yang diturunkan untuk meruntuhkan benteng pemudi ini adalah pihak bibi-bibi tua yang bijak, yang telah banyak makan asam garam. Seorang gadis haruslah kuat urat syarafnya menangkis kefasihan lidah bibi-bibi ini. Mereka berganti-ganti dengan setianya, tanpa jemu-jemunya, berjam-jam, bahkan berhari-hari menyakinkan anak gadis yang kurang patuh ini akan kebodohannya, kekurangpikirannya, tentang keuntungannya bila dia memilih dan menyetujui pilihan orang tuanya. Juga dijelaskan penyesalan-penyesalan yang dialaminya kelak bila melawan kehendak orang tua. Apabila bujukan ini tidak mempan juga, maka ada jalan lain, yaitu meminta bantuan kepada roh-roh nenek moyang, dengan jampi-jampi atau jelasnya dengan jalan halus. Bila jalan terakhir ini juga masih belum mempan, si gadis biasanya lari dan atau bunuh diri.
Sebelum agama Islam masuk ke daerah ini, di daerah ini telah dikenal perkawinan yang bersifat exogam, artinya perkawinan diusahakan di luar hubungan kekeluargaan empat garis vertikal, dan horizontal. Bila dilanggar maka diyakini, akan terjadi angin topan, banjir, letusan gunung, dan lain-lain. Juga sebelumnya perkawinan antarbelah, antarkampung, sangat ditabukan, seperti telah disinggung di muka. Bagaimana setelah Islam masuk? Pada umumnya orang lebih memilih hukum perkawinan secara adat daripada secara hukum Islam, pada mulanya, sungguhpun akhir-akhir ini sudah berubah. Perkawinan antara anak seorang saudara laki-laki dan anak saudara perempuan, menurut agama Islam dibenarkan, tetapi menurut adat, sebaiknya dihindarkan. Bila hal seperti ini terjadi, maka secara Islam dianggap tidak ada masalah, tetapi secara adat, sipelaku akan diejek orang.
Seperti telah disinggung di muka, perkawinan daerah Gayo dipakai hukum patrilineal/kebapakan. Justeru itu perkawinan harus exogam-clan; perkawinan diusahakan dari clan lain dari clan bapak. Perkawinan antara dua orang dalam clan yang sama dianggap tabu/pantang. Clan-clan di daerah Gayo ditandai dengan kuru, keluarga empat keturunan secara vertikal. Batasan ini sangat kabur sekali sehingga para ahli antropologi mengatakan bahwa di Gayo tidak ada clan. Sungguhpun demikian untuk memudahkan clan dianggap ada. Beberapa kuru membentuk sebuah kampung. Pada masa penjajahan Belanda dahulu, kuru ini diistilahkan dengan belah. Setiap kampung terdiri atas beberapa belah.
Ditinjau dari beberapa segi, pelarangan perkawinan satu belah/kampung ada baiknya. Pertama, kampung di daerah Gayo dihuni oleh keluarga yang masih berhubungan darah/famili. Selanjutnya dalam pelaksanaan perkawinan, atau perhelatan lainnya, pemuda dan pemudi mempunyai tugas yang berat. Mencari kayu api, mencari daun pisang, ke hutan adalah sebagian kecil tugas mereka. Mereka ini dilepas bersama-sama ke hutan mencari kayu, tanpa diawasi orang tua. Mereka sudah dianggap adik kakak, seibu sebapak, yang tabu kawin. Kalau misalnya mereka tidak dianggap adik kakak, tentu saja mereka boleh bermain mata. Kalau ini terjadi keamanan kampung rusak, dan kepercayaan terhadap muda-mudi hilang.
Adalah pada tempatnya bila dalam uraian ini juga disinggung secara singkat tentang pengelompokan berdasarkan usia, jenis kelamin, dan tingkat bangsa. Pada tiap-tiap bangsa di dunia, pengelompokan tadi sangat penting. Pengelompokan ini selalu dilaksanakan dengan upacara-upacara. Upacara seperti ini dipelopori oleh orang-orang tua, mengingat kedudukan mereka sangat dihormati di daerah ini.
Perbedaan usia dapat dilihat dari pakaian, pemeliharaan rambut, dan hiasan badan. Cara bergaul antara pemuda dewasa dan yang belum dewasa sangat intim, dan ini menyebabkan pemuda yang belum dewasa cepat menjadi “ matang ”, tambahan pula perbedaan rohani antara seseorang yang kawin, dan yang belum kawin, demikian kecilnya sehingga masa pubertas seseorang sangat pendek sekali. Pemuda atau pemudi yang cepat didewasakan masih terlalu muda dan belum dapat melepaskan diri dari ketiak orang tua. Sarjana Dr. H. Th. Fisher menyatakan bahwa di daerah Gayo orang terlalu cepat didewasakan, terlalu cepat diberi tanggung jawab perkawinan, terlalu cepat menjadi ibu-bapak, terlalu cepat menjadi orang tua, dan ………… terlalu cepat masuk kubur. Jarang sekali pemuda/i menghabiskan masa mudanya sampai umur 20 tahun, jarang sekali pemuda/i yang sudah kawin lepas dari orangtuanya/jawe, akibatnya pemuda sangat berat tanggung jawabnya, dan jarang sekali berumur panjang.
Apabila seseorang bayi berumur beberapa hari/minggu, untuk dapat diterima menjadi anggota keluarga secara resmi, maka dia harus menjalani suatu upacara yang disebut turun mandi. Dia telah diterima menjadi anggota keluarga dengan diberi nama, rambutnya dipotong untuk pertama kali, dan sebagainya. Upacara selanjutnya adalah upacara menuju pubertas pertama yang dikenal dengan jelisen, atau sunat rasul, yang dahulu kala ditandai dengan menghitam gigi dengan getah jeruk yang dibakar.
Upacara perkawinan juga adalah peralihan dari bujang/beru ke arah telah kawin. Tahap selanjutnya adalah kehamilan, yang didaerah ini dahulu dapat dianggap suatu bahaya, bukan saja bagi si ibu, tetapi juga kungkungan bagi bapak. Dahulu ada upacara penyambutan kehamilan sekian bulan, namun sekarang tidak ada lagi. Yang ada adalah larangan bagi si ibu, dan juga si ayah. Calon ibu yang sedang hamil dilarang keras meniti titian terutama yang terbuat dari batang kelapa atau batang pinang, dilarang makan di atas tangga, dilarang melepaskan rambut ketika memasak, dan lain-lain sebagainya. Sedangkan calon bapak dilarang membunuh atau menyakiti orang, dan binatang, dan lain-lain sebagainya. Bagaimana kalau dilanggar? Tentu berakibat datangnya mara bahaya yang dapat merenggut nyawa anak dan atau ibu.
Pada pengelompokan usia ini juga dapat kita lihat perbedaan antara hak dan kewajiban para anggota. Kewajiban pemuda yang dalam bahasa Gayo disebut sibebujang adalah menjaga keamanan kampung, mengerjakan pekerjaan yang berat-berat, seperti mencangkul sawah, menebang hutan, berkebun, dan lain-lain sebagainya. Sedangkan si pemudi yang disebut sibeberu berkewajiban untuk mengerjakan pekerjaan yang ringan-ringan, sesuai dengan kodratnya, seperti memasak, mencari kayu bakar, menanam padi, dan lain-lain sebagainya.
Diatas telah diuraikan serba ringkas tentang pengelompokan berdasarkan usia. Bila kita lanjutkan dengan pengelompokan berdasarkan jenis kelamin, maka kita akan melihat beberapa hal yang mempunyai segi-segi persamaan dan sedikit perbedaan. Pengelompokan berdasarkan ini dimulai dengan bentuk yang terutama sekali ditandai dengan permainan dan pakaian. Anak laki-laki cepat sekali belajar dari anak-anak yang lebih besar darinya, dan dari bapaknya, sedangkan anak perempuan lebih mengikuti ibunya. Bila anak-anak meningkat besar, kelihatan lebih nyata lagi pembagian pekerjaannya, yang tentu di samping pekerjaan yang dikerjakan bersama-sama antara kedua jenis tersebut. Seorang pasti diejek atau ditertawakan bila mengerjakan yang bukan pekerjaan jenisnya. Demikianlah malunya seorang pemuda bila dia menyabit padi, dan pemudi mencangkul sawah. Sungguhpun pembagian ini begitu tegas dan keras, anggota masyarakat tidaklah perlu gusar bila keluarga mereka hanya mempunyai anak laki-laki, atau anak perempuan saja. Pemuda/i kampung telah mempunyai organisasi sendiri yang bertugas bergotong royong mengerjakan pekerjaan keluarga secara bersama, di bawah ketuanya yang dipilih secara langsung dengan suara terbanyak. Seorang janda tua yang tidak punya anak atau punya anak tapi masih kecil tidak usah takut sawahnya tidak terurus dan terbengkalai. Tugas ini diambil alih para pemuda/i tanpa bayaran apa-apa. Si janda tidak perlu mengeluarkan biaya atau yang lainnya; yang diperlukan senyum dan keramahan lainnya. Adalah merupakan suatu tamparan bagi organisasi pemuda/i bila mereka tidak mau mengerjakan sawah si janda, dengan alasan apapun.
Kehidupan sisebujang, dan siseberu bila diteliti secara seksama sungguh mempunyai keunikan tersendiri. Pemuda/i tidak pernah tidur di rumah sendiri, selain karena tidak dihendaki adat, juga karena rumah keluarga pada umumnya kecil dan tidak mempunyai kamar sendiri.
Para pemuda tidur dalam satu tempat yang disebut manah, yaitu tempat yang khusus dibuat oleh jema opat yang letaknya biasanya di tengah-tengah kumpulan rumah keluarga. Seorang anak yang telah disunat rasulkan jarang sekali tidur di rumahnya bersama orang tuanya sendiri. Bahkan boleh dikatakan tidak pernah ada seorang pemuda yang mau tinggal di rumah sendiri pada malam hari walaupun keadaan rumah besar, kalau tidak mau diejek kawan-kawan yang lain dengan ejekan “ menyusu”. Manah mempunyai banyak fungsi, sebagai tempat bertukar pikiran, menyusun rencana untuk kemajuan kampung, juga menyusun strategi untuk mendapatkan kawan hidup. Hal ini kita singgung mengingat para pemuda setiap kampung akan mengadakan operasi ke kampung lain untuk menjumpai buah hatinya, yang dalam bahasa Gayo disebut “ nrojok ”. jelasnya nrojok dimaksudkan si pemuda mendatangi tempat pemudi menginap pada malam hari dengan maksud hanya sekedar berbicara saja. Biasanya terlebih dahulu sudah ada kode sebelumnya pada siang hari. Jarang sekali pekerjaan ini dilakukan seorang diri. Berombongan jauh lebih disukai mengingat segala kemungkinan yang akan dihadapi. Nrojok ini penuh resiko, yang kadang-kadang nyawa tantangannya, sebab pemuda dari kampung si pemudi yang didatangi tadi tidak tinggal diam. Bila tamu yang “ tidak diundang ” ini kedapatan/ketahuan, maka pedang akan berbicara, dan hal ini dibenarkan oleh adat.
Hampir sama dengan keadaan pemuda tersebut di atas para pemudi juga tidak jauh keadaannya. Mereka tidak pernah tidur di rumah sendiri. Pada malam hari mereka berkumpul di sebuah rumah/biasanya di rumah seorang janda/janda tua inilah yang mengurus pemudi pada malam hari. Beliau punya hak istimewa, punya hak veto, bahkan mendekati hak prerogatif yang tidak dapat diganggu gugat. Pemudi harus rela dinasehati ibu janda ini, walaupun kadang-kadang terasa pahit. Pemudi diajari soal berumah tangga pada malam hari sebelum tidur. Bagaimana memilih suami, bagaimana menyenangkan hati suami, hati mertua, hati famili, bagaimana cara menghidang, cara memasak yang benar, cara mengurus anak, dan lainnya. Semacam penataranlah sifatnya. Antara pemudi dan ibu janda ini hubungan sudah demikian akrabnya, sehingga si pemudi secara terbuka memberitahukan idamannya, dari kampung mana, siapa namanya, dan lain-lain sebagainya. Kalau sudah demikian halnya, pemudi harus luar biasa patuhnya kepada ibu janda ini, dan bila kepatuhan dilanggar bukan tidak mungkin ibu janda ini berkhianat, memberitahukan pacar si pemudi kepada ketua pemuda setempat. Kalau sudah demikian suasana bisa hangat. Si pemudi bisa dimarahi si pemuda, dan atau gerak gerik si pemudi dan si pemuda lawannya akan dijaga dengan sangat ketat, kesempatan si pemudi untuk berbicara dengan pemuda pada malam nrojok, sukar didapat. Ada kalanya ibu janda ini disogok oleh pemuda kampung lain, agar kebebasan berbicara antarpacar dapat berlangsung dalam waktu yang lama tanpa diketahui pemuda pengawal. Tapi harus awas, sebab bila ketahuan ibu janda ini juga dapat dihukum, misalnya si pemuda memboikot segala pekerjaan si janda, atau si pemudi pindah menginap ke rumah janda yang lain.
Seorang pemuda dari kampung lain yang sedang nrojok lalu tertangkap, hukumnya sangat berat, tidak jarang namanya saja yang kembali ke kampungnya. Ada juga baiknya bila kita tinjau pembagian kelompok pemuda kampung. Ada tiga kelompok dalam organisasi pemuda kampung, sebagai berikut :
1.Kelompok pertama, bertugas menjaga kampung, dari gangguan pemuda kampung lain, yang berusaha dengan segala akal untuk memasuki kampung untuk nrojok;
2.Kelompok kedua berusaha menyusup ke kampung lain untuk maksud yang sama, dan,
3.ketiga kelompok pemuda yang memberi kursus/latihan kepada pemuda-pemuda yang belum berpengalaman.
Begitulah misalnya bila ada pemuda lain menangkap pemuda kampung lain, biasanya khabar cepat didapat oleh orang-orang tua. Kalau demikian keadaannya, kedua kelompok cadangan (kelompok 2 dan 3), dengan sendirinya memberikan bantuan terhadap kawan yang tertangkap, dengan segala daya, kalau perlu dengan perang tanding. Karenanya tidaklah mengherankan bila setiap pemuda di daerah ini setiap hari/malam, membawa pedang sebagai alat
Berbagai sumber
Previous Post
Next Post

0 komentar: