Monday, March 25, 2013

Alat Transportasi

Alat Transportasi
Alat Transportasi
Lumpé    = untuk menghubungkan antara suatu tempat di seberang sungai, dibuat sebuah alat yang disebut lumpé. Lumpé adalah rentangan dua utas tali dari dua tempat seberang menyeberang sungai. Dibuat dari dua rentangan tali rotan yang kuat, diatur sedemikian rupa sehingga orang dapat menyeberang dari satu tepi ke tepi lain.
Penyeimbang, agar tali jangan lari, bambu panjang diikat dan langsung kena ke sungai.
Sekarang titi/lumpé ini sudah menggunakan tali besi/kawat.
Jangkat    =Alat yang dibuat dari kulit kayu yang kenyal, kuat untuk mengangkat dan atau mengangkut kayu api dan atau padi, atau beras. Jangkat ini dapat dibayangkan seperti ransel tentara, atau ransel pramuka, dan juga sekarang banyak dipakai petualang. Pemakaiannya mudah dan praktis.
Amung    =Alat yang dibuat jalinan rotan yang sudah diolah rapi/diraut atau bambu yang sudah diraut juga. Bentuknya seperti keranjang. Ke dalam amung ini dimasukkan barang yang akan diangkat ke tempat jauh.
Jujung    =Benda yang akan diangkat diletakkan di atas kepala, seperti padi di dalam karung. Bahasa Indonesianya junjung. Benda-benda panjang dan licin, seperti bambu, jarang dijunjung.
Arang    =Benda di letakkan di atas pundak, benda yang biasa diarang adalah benda yang panjang, seperti bambu, kayu api dan lain-lain.
Jelnang    =Biasanya anak-anak yang berumur 3 – 5 tahun diletakkan di atas pundak. Si anak memegang kepala bapaknya dalam perjalanannya yang agak jauh. Kaum ibu jarang menggunakan alat jelnang ini.
Temeng    =Mengangkut barang dengan satu tangan saja, misalnya mengangkut keranjang dan lain-lain.
d.Alat penangkap ikan, adalah :
Jele
Cerkap
Durung
Kik
Jao
Tangil
dan lain-lain
e.Alat penangkap burung, adalah :
Jaring
Jangki
Ontang
dan lain-lain
f.Alat berburu, adalah :
Jaring
Kunyur
dan lain-lain

Keben dan Manah

Keben dan Manah
Keben dan Manah
Di atas sudah diuraikan tentang bagunan orang Gayo yaitu rumah. Selain dari itu masih ada lagi bagunan seperti keben dan manah.
Keben, bangunan terbuat dari tepas, dan atau bukit kayu besar, bentuknya pas seperti silinder besar, dengan garis tengah kira-kira 1 ½ meter, tinggi 2 – 2 ½ meter. Gunanya untuk menyimpan padi, letaknya di atas rumah, atau di samping rumah.
Manah, bangunan menyerupai rumah kecil, dengan ukuran 3 – 4 meter, dan tinggi 2 – 3 meter. Di atas ada loteng, tempat pemuda tidur malam. Bangunan ini tidak punya tingkep (jendela), dan sebelah pinggir adalah pintu kecil untuk memasukkan/mengeluarkan padi. Pintu ini berukuran ½ x 1 meter. Manah tempat padi orang kaya, sedangkan keben tempat padi orang miskin. Letak manah di luar rumah dan tidak dijaga, hanya mengandalkan kunci saja.

Rumah Orang Gayo

Rumah Orang Gayo
Rumah Orang Gayo
Rumah pada umumnya didirikan untuk 6 - 7 keluarga. Rumah untuk perseorangan atau perkeluarga tidak boleh didirikan, Tinggi rumah + 2 – 3 meter dari atas tanah. Untuk mendirikan rumah diserahkan kepada tukang yang disebut utus. Alat utus yang utama adalah beliung, cekeh, gergaji, pat/pahat dan lain-lain. Bagian rumah yang terpenting adalah tété (lantai), rering (dinding), dan supu (atap). Semula semua bahan dibuat sedemikian tanpa paku, besi, tapi memakai paku yang dibuat dari bambu yang cukup tua, tapi kemudian memakai paku biasa. Lantai atau dinding mula-mula terbuat dari bambu atau temor yang dijalin.
Umah (rumah) didirikan dari suyen (tiang) yang dibuat dari kayu hutan atau dari damar. Letak rumah biasa membujur dari timur ke barat dan letak kite/tangga biasa dari arah timur atau utara. Rumah yang letaknya timur – barat disebut bujur dan utara – selatan disebut lintang. Di luar bujur – lintang disebut sirung – gunting. Ruang dekat tangga disebut ralik, dan yang terjauh dari tangga disebut ujung dan yang di tenggah disebut lah.
Umah orang Gayo, dibuat memanjang, disebut umah pitu ruang (rumah 7 bilik/kamar). Enam bilik dihuni masing-masing satu KK, dan satu bilik adalah lepo/beranda, tidak dihuni, tapi tempat tamu, enam bilik tambah satu lepo/beranda, dijumlahkan menjadi 7 (tujuh), karena itu rumah tersebut, tetap disebut UMAH PITU RUANG/BILIK.
Timbul pertanyaan, kalau ada 6 KK yang mendirikan umah pitu ruang, siapa yang menempati bilik ralik, bilik lah, bilik ujung dan 3 bilik lainnya ?. bilik ralik paling disukai, dekat dengan tangga, dan sebaliknya bilik ujung adalah bilik yang paling tidak disukai.

Rupanya orang tua dulu punya cara sendiri, sebagai berikut :
Kalau hendak mendirikan umah pitu ruang, diawali dengan sebuah upacara penyerahan alat kepada utus. Utus lalu meminta agar calon penghuni rumah duduk melingkar di hadapannya. Lalu utus meminta agar tiang utama diletakkan di antara dia dan calon penghuni rumah. Tiang utama ini akan dipahat pertama kali di hadapan calon. Sela pertama harus diperhatikan, kemana jatuhnya. Ini penting sebab calon yang kena jatuhnya sela ini berhak mendapat bilik ralik dan seterusnya, penentuan penghuni bilik-bilik yang lain adalah dengan musyawarah berdasarkan jatuhnya sela pertama tadi.
Kalau sela tidak jatuh kepada 6 calon penghuni, misalnya jatuh kepada penonton, maka calon, harus menebus sela ini dengan tebusan :
Kain putih,    1 pinggang (+ 2 meter)
Beras,        1 bambu
Cincin emas,    1 bentuk
Jarum penjahit,    1 (satu)
dan urutan penghuni ruang ditentukan oleh utus dan jema opat yang dihormati dan dasar mereka adalah bilik ralik dihuni oleh orang/keluarga yang paling banyak anaknya, dan seterusnya, bilik ujung dihuni oleh keluarga yang anaknya paling sedikit. Pada umumnya putusan jema opat tidak pernah diprotes oleh calon penghuni, sebab jema opat dan utus orang yang dihormati.
Bila penduduk bertambah, maka rumah didirikan lagi dengan cara pertama tadi. Hanya saja diusahakan satu kampung hanya ada 5 – 6 umah pitu ruang. Kalau penduduk bertambah lagi tidak ada masalah, dirikan kampung lagi.

Bagian-bagian umah pitu ruang
Kita naik dari kité/tangga, masuk ke lepo. Di sebelah kiri lepo disebut serami rawan, sebelah kanan, serami benen. Ruangan sudut rumah di bagian ralik serami benen disebut anyung Lepo dan anyung lantainya sama tinggi. Bilik ditinggikan lantainya kira-kira 2 anak tangga dan punya pintu ke ruangan benen. Dinding ke ruangan rawan tertutup sama sekali. Antara lepo dan serami benen ada pintu yang hanya ditutup pada malam hari.
Bilik-bilik inilah yang digunakan keluarga bersama anaknya yang masih kecil (ukuran kecil, kalau laki-laki belum sunat) sebagai kamar tidur, menyimpan barang-barang berharga seperti kain, alat tenun dan lain-lain. Barang pecah belah disimpan di atas loteng yang disebut parabuang, sedangkan barang pecah belah yang dipakai sehari-hari disimpan di tempat piring yang disebut salangan di luar bilik. Tikar-tikar digulung dan diikat rapi dan digantung di dinding bilik yang dinamakan santon. Pada malam hari dapur dihidupkan untuk memanaskan badan dan sebagai alat penerangan dibakar uyem (damar). Sedangkan siang hari dapur digunakan untuk memasak. Mereka biasa makan 2 x sehari, kira-kira pukul 08.00 dan pukul 16.00. bilik-bilik penyimpanan barang-barang tadi disebut umah rinang atau atas rinung. Jalan dari ujung ke ujung sebelah dinding bilik disebut duru, sedangkan tempat dekat dinding luar disebut uken, yaitu tempat menerima tamu dan makan bersama.
Atap rumah dibuat dari sangé (pimping) yang diolah rapi dengan menyemat/mengayamnya pada sebuah kayu yang kuat, yang disebut bengkon. Jarang sekali rumah Gayo Lues yang beratap ijuk atau yang lain.