Monday, March 25, 2013

Rumah Orang Gayo

Rumah Orang Gayo
Rumah Orang Gayo
Rumah pada umumnya didirikan untuk 6 - 7 keluarga. Rumah untuk perseorangan atau perkeluarga tidak boleh didirikan, Tinggi rumah + 2 – 3 meter dari atas tanah. Untuk mendirikan rumah diserahkan kepada tukang yang disebut utus. Alat utus yang utama adalah beliung, cekeh, gergaji, pat/pahat dan lain-lain. Bagian rumah yang terpenting adalah tété (lantai), rering (dinding), dan supu (atap). Semula semua bahan dibuat sedemikian tanpa paku, besi, tapi memakai paku yang dibuat dari bambu yang cukup tua, tapi kemudian memakai paku biasa. Lantai atau dinding mula-mula terbuat dari bambu atau temor yang dijalin.
Umah (rumah) didirikan dari suyen (tiang) yang dibuat dari kayu hutan atau dari damar. Letak rumah biasa membujur dari timur ke barat dan letak kite/tangga biasa dari arah timur atau utara. Rumah yang letaknya timur – barat disebut bujur dan utara – selatan disebut lintang. Di luar bujur – lintang disebut sirung – gunting. Ruang dekat tangga disebut ralik, dan yang terjauh dari tangga disebut ujung dan yang di tenggah disebut lah.
Umah orang Gayo, dibuat memanjang, disebut umah pitu ruang (rumah 7 bilik/kamar). Enam bilik dihuni masing-masing satu KK, dan satu bilik adalah lepo/beranda, tidak dihuni, tapi tempat tamu, enam bilik tambah satu lepo/beranda, dijumlahkan menjadi 7 (tujuh), karena itu rumah tersebut, tetap disebut UMAH PITU RUANG/BILIK.
Timbul pertanyaan, kalau ada 6 KK yang mendirikan umah pitu ruang, siapa yang menempati bilik ralik, bilik lah, bilik ujung dan 3 bilik lainnya ?. bilik ralik paling disukai, dekat dengan tangga, dan sebaliknya bilik ujung adalah bilik yang paling tidak disukai.

Rupanya orang tua dulu punya cara sendiri, sebagai berikut :
Kalau hendak mendirikan umah pitu ruang, diawali dengan sebuah upacara penyerahan alat kepada utus. Utus lalu meminta agar calon penghuni rumah duduk melingkar di hadapannya. Lalu utus meminta agar tiang utama diletakkan di antara dia dan calon penghuni rumah. Tiang utama ini akan dipahat pertama kali di hadapan calon. Sela pertama harus diperhatikan, kemana jatuhnya. Ini penting sebab calon yang kena jatuhnya sela ini berhak mendapat bilik ralik dan seterusnya, penentuan penghuni bilik-bilik yang lain adalah dengan musyawarah berdasarkan jatuhnya sela pertama tadi.
Kalau sela tidak jatuh kepada 6 calon penghuni, misalnya jatuh kepada penonton, maka calon, harus menebus sela ini dengan tebusan :
Kain putih,    1 pinggang (+ 2 meter)
Beras,        1 bambu
Cincin emas,    1 bentuk
Jarum penjahit,    1 (satu)
dan urutan penghuni ruang ditentukan oleh utus dan jema opat yang dihormati dan dasar mereka adalah bilik ralik dihuni oleh orang/keluarga yang paling banyak anaknya, dan seterusnya, bilik ujung dihuni oleh keluarga yang anaknya paling sedikit. Pada umumnya putusan jema opat tidak pernah diprotes oleh calon penghuni, sebab jema opat dan utus orang yang dihormati.
Bila penduduk bertambah, maka rumah didirikan lagi dengan cara pertama tadi. Hanya saja diusahakan satu kampung hanya ada 5 – 6 umah pitu ruang. Kalau penduduk bertambah lagi tidak ada masalah, dirikan kampung lagi.

Bagian-bagian umah pitu ruang
Kita naik dari kité/tangga, masuk ke lepo. Di sebelah kiri lepo disebut serami rawan, sebelah kanan, serami benen. Ruangan sudut rumah di bagian ralik serami benen disebut anyung Lepo dan anyung lantainya sama tinggi. Bilik ditinggikan lantainya kira-kira 2 anak tangga dan punya pintu ke ruangan benen. Dinding ke ruangan rawan tertutup sama sekali. Antara lepo dan serami benen ada pintu yang hanya ditutup pada malam hari.
Bilik-bilik inilah yang digunakan keluarga bersama anaknya yang masih kecil (ukuran kecil, kalau laki-laki belum sunat) sebagai kamar tidur, menyimpan barang-barang berharga seperti kain, alat tenun dan lain-lain. Barang pecah belah disimpan di atas loteng yang disebut parabuang, sedangkan barang pecah belah yang dipakai sehari-hari disimpan di tempat piring yang disebut salangan di luar bilik. Tikar-tikar digulung dan diikat rapi dan digantung di dinding bilik yang dinamakan santon. Pada malam hari dapur dihidupkan untuk memanaskan badan dan sebagai alat penerangan dibakar uyem (damar). Sedangkan siang hari dapur digunakan untuk memasak. Mereka biasa makan 2 x sehari, kira-kira pukul 08.00 dan pukul 16.00. bilik-bilik penyimpanan barang-barang tadi disebut umah rinang atau atas rinung. Jalan dari ujung ke ujung sebelah dinding bilik disebut duru, sedangkan tempat dekat dinding luar disebut uken, yaitu tempat menerima tamu dan makan bersama.
Atap rumah dibuat dari sangé (pimping) yang diolah rapi dengan menyemat/mengayamnya pada sebuah kayu yang kuat, yang disebut bengkon. Jarang sekali rumah Gayo Lues yang beratap ijuk atau yang lain.

Tuesday, March 19, 2013

Sistem Tindakan Sistem Nilai Budaya Masyarakat Gayo Lues

Sistem Tindakan Sistem Nilai Budaya Masyarakat Gayo Lues
Sistem Tindakan Sistem Nilai Budaya Masyarakat Gayo Lues
Budaya dalam bentuk ini bersifat konkrit, dapat dilihat dan dapat difoto. Misalnya petani bekerja di sawah, karyawan bekerja di pabrik serta pelajar belajar di sekolah dan sebagainya.
Di Gayo Lues pada khususnya dan Gayo keseluruhan pada umumnya, pekerjaan menentukan orang, atau lebih tepat pekerjaan berdasarkan jenis kelamin. Setiap pekerjaan telah dibagi antara pekerjaan laki-laki dan pekerjaan perempuan. Pembagian bersifat mutlak, artinya suatu pekerjaan untuk laki-laki, tidak boleh dikerjakan oleh perempuan dan sebaliknya. Bila terjadi juga penyimpangan, pekerjaan laki-laki dikerjakan oleh perempuan, atau pekerjaan perempuan dikerjakan laki-laki, pasti mendapat ejekan, tertawaan, cacian, dan atau keprihatinan. Lalu para petua adat atau orang-orang dewasa menelusuri apa sebab musababnya, apakah masuk akal atau tidak. Setelah diselidiki ternyata benar, karena terpaksa, maka petua adat mencari jalan keluar yang terbaik, dan mengumumkan kepada publik sehingga publik maklum dan membantu mengatasi hal tersebut secara bersama.
Pekerjaan yang berat-berat adalah pekerjaan laki-laki dan sebaliknya pekerjaan yang ringan-ringan adalah pekerjaan perempuan.
Kita ambil contoh :
Pekerjaan bersawah.
Pekerjaan laki-laki adalah :
-mencangkul, membersihkan parit, membersihkan pematang, melumatkan tanah, meratakan tanah, menggirik padi, mengangkut padi ke rumah, dan lain-lain.
Pekerjaan perempuan adalah :
-menanam padi, merumput, menyabit, mengangin, dan lain-lain yang   ringan-ringan.
Di luar pekerjaan yang utama di sawah tadi,
Tugas laki-laki adalah :
-menebang ladang, membersihkan ladang, menanam ladang, memelihara hewan, membuat rumah, menganyam atap.
Tugas perempuan adalah :
-urusan masak- memasak, mencari kayu bakar, anyam-menganyam tikar, mengambil air ke sungai, berbelanja ke pasar, menyapu rumah, pokoknya urusan rumah tangga, mengurus anak kecil dan lain-lain.
Tugas bersama, artinya boleh dikerjakan laki-laki dan atau perempuan misalnya menjahit, mengendong anak kalau berjalan jauh, dan yang dianggap patut, misalnya mengurung ayam atau membelah kayu bakar dan lain-lain.
Kalau ada yang mengerjakan tugas yang bukan tugasnya tentu sangat dibenci orang, diejek, bahkan disisihkan dalam pergaulan. Tidak boleh laki-laki memasak, tidak boleh laki-laki belanja ke pasar, tidak boleh laki-laki mencari kayu bakar, tidak boleh laki-laki menanam padi dan lain-lain. Sebaliknya tidak boleh perempuan, menambat lembu, tidak boleh perempuan mencangkul, tidak boleh perempuan menggirik padi, tidak boleh perempuan menganyam atap, tidak boleh perempuan menjala ikan.
Nah kalau terjadi pelanggaran, bagaimana ?
Mula-mula si pelaku ditegor, “ Hai mengapa kamu mencangkul di sawah, padahal suamimu ada ? Mengapa kamu memasak padahal istrimu ada ?”. Bila keadaan demikian maka orang menyelidiki sebab musababnya. Si ibu mencangkul di sawah, karena suaminya sakit keras di rumah sakit. Si bapak memasak karena istrinya pergi ke Kutapanjang, sedangkan anaknya yang masih kecil-kecil mau makan dan belum bisa memasak.
Kalau penyebabnya masuk akal, persoalan tersebut tidak dipermasalahkan, dan tidak boleh dibiarkan berlanjut, harus ditanggulangi. Caranya, kalau misalnya ibu yang mencangkul di sawah tadi seorang janda, anak laki-laki tak ada, maka pemuda kampung harus turun tangan mencangkul sawah si janda sampai selesai tanpa pamrih, tanpa bayaran, tanpa minta makan dan atau minum kepada si janda. Bagaimana kalau pemuda tidak mau mengingat janda ini pelit, suka memarahi pemuda, maka orang-orang tua akan memarahi dan memaksa pemuda membantu dan kalau tidak juga maka orang-orang tua akan membantu si janda ini. Kalau sudah begini keadaannya, si pemuda kampung akan menanggung malu, diejek oleh pemuda kampung lain dan dicap “ merke “ pemalas. Ujung-ujungnya gadis dari kampung lain tidak mau kawin dengan si pemuda model ini. Bagaimana kalau bapak yang memasak tadi karena istrinya sudah meninggal, anak-anak masih kecil-kecil ?. Pemudi kampung harus membantu memasak nasi bapak ini dalam batas waktu satu bulan. Di samping itu orang-orang tua kampung, baik ibu-ibu atau bapak-bapak berusaha mencari istri bapak ini ke kampung lain. Bagaimana kalau dalam tempo sebulan belum juga dapat istri, maka tugas pemudi kampung dianggap sudah selesai. Pemudi lepas dari tanggung jawab membantu. Pemudi tidak dapat dipersalahkan lagi. Kerja masak-memasak, cuci piring dan lain-lain diserahkan kepada famili terdekat.
Yang kita ceritakan di atas adalah keadaan zaman dulu kelihatannya karena pengaruh pergaulan dan perubahan zaman keadaan tersebut mengalami erosi, mengalami perubahan yang nyata dan orang tidak ambil pusing lagi untuk tugas-tugas yang ringan. Orang laki-laki sudah ada yang berani berbelanja ke pasar. Orang laki-laki sudah ada yang berani mencuci pakaian anak-anaknya, orang laki-laki sudah ada yang berani mengangkat beras dari pasar dan lain-lain. Juga sebaliknya perempuan sudah ada yang mencangkul di sawah, perempuan sudah berani menggembala lembu atau kambing dan lain-lain. Para pelaku pelanggaran ini adalah orang yang sudah pernah merantau ke luar daerah. Di daerah lain dilihatnya lain dari di daerah ini. Dilihatnya di Aceh pesisir, laki-laki berbelanja ke pasar, laki-laki memasak, membuat mie, memasak martabak. Dilihatnya yang mencuci di sungai ada juga laki-laki, dan di banyak daerah dilihatnya laki-laki dan perempuan mencangkul di sawah, di ladang dan lain-lain. Pengalaman ini sebagian ada yang diterapkan di daerah ini, sungguhpun masih mendapat tantangan dari masyarakat.
“ Tak malu, laki-laki beli ikan di pasar, tak malu laki-laki beli sayur. Tidak malu perempuan beli parang, tidak malu perempuan beli cangkul dan lain-lain “.

Hubungan Alam dan Tingkah Laku Masyarakat Lues

Hubungan Alam dan Tingkah Laku Masyarakat Lues
Dalam masyarakat Gayo, terlihat nyata adanya hubungan alam dan tingkah laku masyarakat. Dahulu penduduk Gayo pada umunya Gayo Lues pada khususnya sangatlah jarang. Letak antara satu rumah dengan rumah lainnya berjauhan. Bila waktu makan tiba, misalnya, seorang ibu tidak usah mencari anaknya ke tempat lain dengan berjalan kaki yang cukup memakan waktu. Cukup dengan memanggil anaknya dengan suara keras : “Ali, cepat pulang, mau makan“. Dalam radius 100 - 300 meter orang masih mendengar suara ibu ini dengan cukup jelas.
Satu hal lagi yang perlu diingat, seperti disinggung di atas, penduduk jarang, letak satu rumah dengan rumah lainnya cukup jauh. Hal ini menyebabkan orang, terutama pemuda yang berkunjung ke rumah lainnya harus ekstra hati-hati.
b.Seni Dengan Suara Keras
Ada kebiasaan para pemuda, dan juga pemudi tidak tidur di rumah masing-masing. Pemuda biasa tidur di menasah, atau di rumah kosong, atau di manah (rumah tempat penyimpanan padi). Kebiasaan tidak tidur di rumah ini mengingat rumah kecil, tidak berkamar, di sana bapak, ibu, dan anak-anak balita tidur. Janggal kalau sudah bujang, sudah gadis tidur di rumah, malu, pantang. Kalau pemuda tadi tidur di menasah, maka para pemudi tidur di rumah famili yang agak besar, pada umumnya ibu-ibu yang sudah janda atau kakek-nenek yang tidak begitu aktif lagi. Menjelang magrib, pemuda, terutama pemudi sudah harus berada di rumah peristirahatan. Dapat diduga, pemuda, terutama pemudi yang berangkat dari rumah pada sore hari harus hati-hati karena di tengah jalan banyak bahaya, ada babi, ada harimau, ada binatang buas lainnya. Sebagai alat utama dalam perjalanan para pemuda dan atau pemudi harus bersenandung keras-keras (dalam bahasa Gayo berjangin dan bersek) dengan harapan kalau ada bahaya, ada babi, ada harimau dan lain-lain, dapat menyingkir dari jalan yang dilalui.
Kebiasaan ini dilakukan dalam waktu yang cukup lama sehingga membudaya, terbawa-bawa ke seluruh tingkah laku orang Gayo. misalnya ke dalam kesenian, segala seni dilakukan dengan suara keras.
Saman harus dengan suara keras,
Bines harus dengan suara keras,
Didong harus dengan suara keras
Ke dalam tatanan kehidupan sehari-hari. Orang Gayo pada umumnya berbicara dengan suara keras, sama dengan orang Batak. Kata seorang antropolog, orang Gayo itu seperti kelapa, sangat keras di luar, tetapi di dalamnya manis dan lemak.
c.Hubungan Alam Dengan Lingkungan
Alam dan lingkungan juga dapat membentuk cara berpikir dan cara bertindak, dan berperilaku. Orang yang hidup di pegunungan pada umunnya kesehariannya sering naik turun gunung. Ketika naik gunung, selalu membungkukkan diri agar jangan jatuh, mencari keseimbangan tubuh. Demikian juga ketika turun gunung. Keadaan seperti ini terbawa-bawa ke dalam keseharian, misalnya kesenian. Semua bentuk kesenian orang Gayo dilakukan dengan membungkuk-bungkuk. Saman membungkukkan tubuh, Bines membungkukkan tubuh, Didong apalagi, demikian juga kesenian Tari Guel di Gayo Laut. Daerah lain yang letaknya di pegunungan juga misalnya Batak, dengan tari Tor-tor nya juga dilakukan dengan cara membungkuk. Satu kagi ciri khas kesenian Gayo seperti sudah disinggung di atas adalah dengan suara keras, karena itu nyanyian yang bernada lembut misalnya dari Jawa, sangat tidak disukai karena bertentangan dengan jiwa Gayo sendiri. Tidak juga ketinggalan dengan perilaku keseharian hidup di daerah pegunungan penuh derita dan perjuangan yang sangat berat. Untuk mencari sesuap nasi pada masa itu harus dengan ekstra keras perjuangan harus dengan keringat dingin, dan kadang-kadang sukar mendapat bantuan dari orang lain yang sedikit jumlahnya. Kerja keras, tak sempat berbicara santai dengan kawan, berakibat orang Gayo, malas berbicara kalau sangat tidak perlu. Akibatnya dalam keseharian orang Gayo sangat malas mengucapkan kata “ berijin, terima kasih  “ kepada pihak yang telah berjasa kepadanya. Anda jangan heran, kalau sekali waktu anda ke Gayo Lues khususnya, Gayo umumnya, dan anda berkeliling tempat ramai, dengarkanlah adakah orang Gayo mengucapkan berijin kepada lawan bicaranya. Jarang sungguhpun ada, seuribe sa, kata orang Aceh, artinya dalam 1000 orang yang anda jumpai hanya satu orang yang mau mengucapkan kata itu. Anda kurang yakin dengan hormat anda kami undang datang ke daerah ini.